[OPINI] Sabar Itu Menahan Rasa, Ikhlas Melepaskan Segalanya

Saya gak janji bisa mudik tahun ini setelah ibu pergi

Saya seorang anak ragil dari tujuh bersaudara. Orang yang tiga kali melewatkan euforia Lebaran di rumah. Semua memori tentang tiga bulan merawat ibu selalu datang berulang-ulang setiap Ramadan. Itu diawali dari cerita tahun 2021. Saya butuh keberanian untuk membagikan kisah ini. Mungkin, tulisan ini adalah bentuk luapan emosional yang lama saya pendam.

Ramadan 2024 sungguh jauh berbeda. Sulit buat mendefinisikan situasinya. Kayak ada yang hilang. Apakah ini sebuah traumatis, atau karena terlalu lama untuk memproses duka? Entahlah. Saya bukan psikolog. Kalau dihitung-hitung sejak 2020--2024, berarti saya hanya satu kali merayakan Idul Fitri di kampung halaman, Probolinggo, Jawa Timur. Yaitu 2021 lalu. Saya memutuskan untuk tidak pulang (lagi) di tengah euforia tahun ini. Padahal lebaran sebelumnya, kehadiran saya selalu dinantikan oleh keluarga dan banyak keponakan setiap mudik dari tanah rantauan di Bali. Ibu menantikan saya untuk bikin kue bareng-bareng. Sedangkan keponakan menunggu amplop, dan gim yang saya buat. Mohon dimaafkan lahir dan batin.

April 2021 adalah momen terakhir puasa di kampung halaman yang penuh emosional. Saya dihadapkan pada kondisi ibu yang hanya bisa berbaring di atas kasur kapuk. Kanker payudaranya menyebar luas dan menggerogoti tulang. Ibu tidak berdaya, bahkan untuk memiringkan badannya sendiri.

Kondisi ibu pernah saya sampaikan ke pimpinan. Maka ketika saya menerima pesan "Ibu gak bisa berdiri dan sulit berjalan. Kalau dirawat di rumah, siapa yang jagain?" dari keluarga, saya langsung WhatsApp (WA) pimpinan untuk meminta izin pulang. Itu di tengah-tengah kasus COVID-19. Toh, saudara-saudara sudah merawat ibu sejauh ini. Sekarang giliran saya pulang merawat ibu. Balasan pesannya masuk di WA. Pimpinan membolehkan saya pulang, dan diminta di rumah hingga puasa. Itu berarti, saya bisa merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Firasat saya tidak enak.

Awal Ramadan hingga hari rayanya tiba masih bisa dilalui. Tetapi psikisnya tidak. Selasa, 8 Juni 2021, ibu berpulang.

[OPINI] Sabar Itu Menahan Rasa, Ikhlas Melepaskan Segalanyailustrasi mudik (IDN Times/Aditya Pratama)

Saya pernah membaca sebuah laman yang mengulas bukunya Elisabeth Kubler-Ross, On Death and Dying, tentang lima macam tahap kedukaan atau Stages of Grief. Ada denial  atau penyangkalan, anger atau marah, menawar atau bargaining, depression atau depresi, dan acceptance atau penerimaan. Dari kelima itu, saya tidak tahu masuk ke dalam tahap yang mana. Karena apa yang saya rasakan pada waktu itu adalah kosong, belum bisa memproses semuanya. Hanya kemarahan, lega, dan bahagia. Mungkin orang-orang berpikir saya aneh. "Ibunya meninggal kok lega dan bahagia." Ya, kenapa harus sedih kalau saya senang memandikan, membersihkan tahi, mendulang, dan puncak kelegaannya adalah menuntun kalimat tauhid hingga akhir hayatnya. Karena yang saya pikirkan, ibu harus pulang dalam damai. Gak memikirkan beban patriarki sebagai ibu dan istri.

***

Ini pertama kalinya saya memandikan ibu di atas kasur. Dimulai dari menggosok giginya dengan sikat. Lalu menyeka wajah, telinga, dan leher menggunakan waslap. Sambil menyeka, saya membatin "Mungkin begini ya rasanya ibu saat memandikan anak-anaknya waktu bayi." Berikutnya bagian tengah seperti tangan, perut, punggung, dan payudara. Ibu awalnya menolak untuk melepas branya. Tentu saja saya bersikeras. "Buk, gak apa-apa." Alis ibu mengernyit, tersenyum tipis sambil memalingkan wajahnya. Itu pertanda ibu kalah negosiasi dengan anak ragilnya yang keras kepala. Akhirnya saya boleh melepas bra tapi dengan satu syarat: harus dibuka pelan-pelan.

Saya langsung terpukul begitu membuka branya! Payudara kanannya hanya ditutupi kapas, dipenuhi darah yang mengering. Keluarga pun baru tahu kalau kanker itu menggerogoti habis payudaranya. Sebab selama ini ibu mandi sendiri, dan gak pernah memperlihatkan kondisi payudaranya. Darah itu datang dari luka benjolan yang terbuka, dan banyak tumbuh di payudara. Setiap melepaskan pelan-pelan kapas yang menempel di kulitnya, luka itu selalu berdarah. Dalam titik ini, saya diuji. Pengin banget rasanya menangis sekencang-kencangnya, tapi harus menahan diri. Gak mungkin saya lari pergi meninggalkan ibu sendirian di kamar berukuran 3x2,5 meter. Pasti akan ketahuan kalau saya super panik dan terkejut. Efeknya, tubuh saya gemetaran. Dengan sisa kekuatan setipis tisu, saya sanggup mengontrol mimik wajah tenang, dan melanjutkan melepas kapas itu.

Ibu tidak banyak bereaksi. Namun saya meyakini ibu terlalu kuat menahan rasa sakit ini puluhan tahun. Dua setengah tahun lalu sebelum 2021, dokter di Kota Malang memperkirakan ibu tidak bertahan hidup setelah terdiagnosis stadium IV, dan perlu menjalani kemoterapi. Keluarga saya rapat mendadak di grup WA. Ibu yang berusia 74 tahun tidak akan sanggup menjalani kemo. Jadi, keluarga memutuskan untuk merawat sendiri ibu secara bergantian. Tiga bulan menjelang kepergiannya dan tidak bisa berdiri, ibu dibawa ke rumah di Probolinggo. Hanya ada saya, ibu, dan bapak di rumah ini. Lagi pula, gak tega hati seandainya payudara itu dibersihkan oleh perawat. Membayangkan bagaimana lukanya dibersihkan terlalu kasar. Padahal belum tentu seperti itu. Saya terlalu overthinking!

Tiga minggu pertama di rumah, saya seperti zombi sepanjang hari. Mampu bergerak, tapi otaknya gak bisa mikir apa-apa. Kerjaan saya keteteran meskipun remote. Kalau diingat-ingat, saya menjalani aktivitas harian bersih-bersih rumah, kadang-kadang masak atau beli; membuat makanan pantangan untuk kanker; mendulang ibu dari pagi, siang, sore; memandikan ibu pagi, sore; membersihkan tahi dua sampai tiga kali termasuk memasangkan popok dewasa; beli popok, perlak sekali pakai, salep Gentamicin Sulfate, kain kasa, Sodium Chloride; membuat minuman dari rebusan kayu bajakah, dan garam himalaya; memetik Daun Binahong untuk luka; dan lainnya. Baru setelah itu tidur jam 2 pagi, dan terkadang melewatkan makan. Begitu seterusnya. Ah, rasa capek ini tak sebanding dengan kemampuan ibu selama 74 tahun.

[OPINI] Sabar Itu Menahan Rasa, Ikhlas Melepaskan Segalanyailustrasi seorang ibu (pexels.com/jonas mohamadi)

Tiga minggu setelahnya, mental saya jatuh. Saya sudah menyampaikan keluhan ini ke bapak dan saudara-saudara agar mau menggantikan sementara tugas 'keperawatan'. Namun, bapak berpesan meskipun dengan menggerutu, "Kamu baru beberapa minggu di rumah aja udah ngeluh! Kakak-kakakmu udah merawat ibu sekian lama." Saya terdiam lama untuk memproses pesan bapak. Saya hanya bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, mengeluh adalah bentuk kelemahan di mata orang. Kedua, saya lagi butuh ditemani dan dukungan. Beberapa hari berikutnya, saya sakit. Migrain kambuh dan demam. "Gak bisa! Saya harus istirahat!" Setelah menceritakan situasi ini ke grup WA keluarga dan minum obat sakit kepala, saya tinggal tidur. Siang hari, keponakan datang atas inisiatifnya sendiri untuk merawat ibu. Tiga hari kemudian--yang biasanya membutuhkan waktu paling lama seminggu--saya sembuh. Hebat banget fisik saya!

Hari Raya Idul Fitri pada 13 Mei 2021 dipenuhi hujan tangisan. Seluruh keluarga berkumpul di kamar ibu. Ibu mulai kehilangan ingatan. Ia berusaha menerka nama dan wajah anak-anaknya beserta cucu-cucu. Saya mendapat giliran untuk sungkem ke ibu. Saya tersenyum lebar, tanpa air mata, menyium punggung tangan, kedua pipi, dan keningnya. "Buk, saya minta maaf ya." Ibu hanya menjawab singkat "Iyo, podo-podo yo (Iya, sama-sama ya)." Apakah ibu mengenali saya? Kami lalu berpandang-pandangan agak lama, dan mata saya berbicara:

"Buk, saya memaafkan, dan mengikhlaskan ibuk pergi. Ibu tidak perlu lagi membawa beban duniawi."

Tiga bulan di rumah adalah waktu yang sangat singkat, dan penuh ujian. Saya kemudian menemukan video liburan bersama keluarga ke Kota Batu pada Hari Idul Fitri 25 Juni 2017, di Facebook milik ibu. Ibu membagikan ulang di berandanya, dari akun milik saudara pada 25 Maret 2018. Bubuhan caption di video itu membuat saya banyak merenung.

Sabar itu menahan rasa, ikhlas itu melepaskan segalanya.

Ibu, terima kasih ya atas isi pesan caption-nya. Kematian adalah sebuah nasihat. Pada intinya mengajarkan untuk tidak berekspektasi terhadap apa pun, menerima bahwa saya memang tidak dapat mengubah orang lain, dan percaya pada kemampuan doa serta kekuatan diri sendiri. Untuk saat ini saya---siap atau gak siap-- harus terus melewati proses Ramadan berikutnya. Pasti kuat dan semoga bisa berjumpa lagi. Just do the sad phase.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya