[OPINI] Tindakan Koruptif Jadi Celah Terjadinya Korupsi

Lelah rasanya melihat Indonesia sedang tidak baik-baik saja

Indonesia kini peringkat 115 dari 180 negara terkorup di dunia pada tahun 2023. Berdasarkan catatan Transparency International (TI) Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terhadap pemberantasan korupsi stagnan di angka skor 34/100, sama dengan tahun sebelumnya. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, skor ini juga sama seperti pertama kali Joko "Jokowi" Widodo menjabat sebagai Presiden pada 2014. Menurut ICW, masa Pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun ini dinilai gagal dalam agenda pemberantasan korupsi. Mungkin pembahasan ini cukup berat ya. Rasanya lelah melihat keadaan Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tapi, apakah kita sebagai masyarakat harus diam saja? Ada satu kalimat menarik yang disampaikan oleh Peneliti ICW, Siti Juliantari Rachman, dalam kelas Pengantar dan Jenis-jenis Korupsi di laman akademi.antikorupsi.org. 

"Berintegritas, berarti tidak melakukan perbuatan korupsi sekaligus menjauhi tindakan yang koruptif."

Narasi tersebut begitu penting. Jika kalimat di atas tidak dikampanyekan secara masif ke masyarakat luas, orang-orang akan semakin melakukan korupsi besar-besaran di masa depan, baik dilakukan secara sendiri maupun berjamaah. Kok bisa? Coba sama-sama menelaah kalimatnya.

[OPINI] Tindakan Koruptif Jadi Celah Terjadinya Korupsifoto hanya ilustrasi (IDN Times/Aditya Pratama)

Ada poin menarik dalam kelas antikorupsi ini. Siti berbicara tentang integritas, yang berarti tentang kejujuran--menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan merumuskan kejujuran sebagai nilai-nilai dalam antikorupsi. Ada sembilan nilai antikorupsi yang meliputi jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.

Apa artinya? Jika ingin mencegah korupsi, maka itu dimulai dari masyarakatnya sendiri. Masyarakat harus punya sikap atau nilai kejujuran dalam kesehariannya agar tidak melakukan perbuatan atau tindakan koruptif. Pusat Edukasi Antikorupsi dalam laman aclc.kpk.go.id menyebutkan, perilaku atau tindakan koruptif bermakna ketidakjujuran, kecurangan, maupun perbuatan buruk lainnya yang bertentangan dengan peraturan di kehidupan keseharian.

Siti memberikan dua contoh sederhananya seperti ini. Seorang dosen yang menerima gratifikasi dari mahasiswa dan plagiarisme. Menurutnya, kedua hal itu tergolong korupsi. Namun, kalau dilihat dari definisi korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999, gratifikasi yang diterima dosen dan plagiarisme bukan termasuk dalam jenis korupsi. Menurut UU Tipikor, gratifikasi lebih menyangkut ke aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara negara. Plagiarisme juga tidak masuk ke dalam jenis korupsi, seperti yang disebutkan oleh UU Tipikor. Melainkan sebagai tindakan koruptif.

Dalam penjelasan kelas tersebut, korupsi berasal dari Bahasa Latin. Corruptio (kata benda), corruptus (kata sifat), dan corrumpere (kerja). Corruptio adalah hal yang merusak atau menghancurkan. Sedangkan corruptus berkaitan dengan merusak, membuat busuk, pembusukan, penguapan, kerusakan, kebusukan, dan kemerosotan. Sementara corrumpere berarti menghancurkan, merusak bentuk, memutarbalikkan, membusukkan, memalsukan, menyuap, mencemarkan, hingga memperdayakan. Jadi secara etimologis, korupsi adalah semua bentuk kemerosotan atau pembusukan dari sesuatu yang dianggap utuh atau murni.

Itu juga berarti bahwa membiarkan makanan membusuk di meja makan, orang yang menyontek, janjian tapi datang tidak tepat waktu, hingga mengambil diam-diam uang kembalian ketika disuruh ibu berbelanja adalah cerminan dari tindakan koruptif. Semua perilaku tersebut memang tidak ada konsekuensi hukum, layaknya tindak pidana korupsi. Tetapi perilaku itu menjadi cikal bakal terjadinya korupsi di masa depan.

[OPINI] Tindakan Koruptif Jadi Celah Terjadinya KorupsiIlustrasi tilang. (IDN Times/Mia Amalia)

Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang memberikan uang damai ke polisi pada saat ditilang? Dalam laman aclc.kpk.go.id, korupsi terbagi menjadi tiga jenis, satu di antaranya tentang petty corruption. Dalam persepktif hukum di kasus tilang, perilaku ini masuk ke dalam petty corruption. Yaitu korupsi skala kecil, dilakukan oleh pegawai tingkat rendah yang berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Masyarakat, misalnya memberikan uang damai Rp50 ribu ketika melakukan pelanggaran, karena tidak membawa atau masa berlaku surat kelengkapan berkendaranya telah habis. Harapannya, tentu agar tidak ditilang oleh polisi. Sedangkan polisi--yang seharusnya punya wewenang tegas untuk menilang pelanggar lalu lintas--lebih menerima uang tersebut dan meloloskan pengendaranya. Ini termasuk tindakan korupsi kecil, yang dianggap biasa oleh masyarakat.

"Pemberi dan penerima suap, keduanya adalah pelaku," kata Siti.

Nilai korupsinya memang terbilang kecil. Namun kalau terus dibiarkan, maka para pelaku suap ini membuka celah besar untuk melakukan kejahatan korupsi. Siapa yang dirugikan? Tentu saja masyarakat. Makanya, perlu banget partisipasi dari masyarakat untuk menjaga integritas itu (kejujuran) sepanjang hidupnya agar terhindar dari tindakan koruptif, dan pada akhirnya tidak ikut sebagai pemberi suap. Sebab celah terjadinya korupsi itu adalah faktor kebutuhan, yang dilakukan oleh pegawai tingkat rendah karena gaji kecil.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya