Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Cuplikan drama Penthouse (YouTube.com/SBSCatch)

Bagi penikmat musik, musik opera bukanlah sesuatu yang asing. Meskipun tidak begitu populer di Indonesia, namun penikmat musik pasti pernah mendengarnya setidaknya sekali. Apalagi semenjak drama korea Penthouse booming di berbagai platform sosial media.

Musik opera adalah pertunjukan yang menonjolkan drama dari sisi musikal. Keunikan dari opera adalah dialognya diucapkan disampaikan lewat nyanyian. Dengan perpaduan instrumen orkestra dan vokal seriosa, pertunjukan opera memberikan kesan mewah.

Tetapi jarang disadari masyarakat, bahwa ada sisi misoginis dalam cerita opera. Di balik kemegahan pertunjukan opera, kisahnya memiliki unsur patriarki yang kuat. Selain dari segi cerita, dari segi pertunjukan juga minim partisipasi aktif dari perempuan.

Kisah perempuan yang selalu berakhir tragis

Akhir kisah La Traviata yang tragis (https://www.youtube.com/@lavozporexcelencia5690)

Kebanyakan kisah opera memiliki ending yang tragis bagi tokoh perempuannya. Chief Culture Writer dari The Guardian, Charlotte Higgins, memaparkan beberapa contoh kisah tragis tokoh perempuan pada kisah opera dalam artikel yang berjudul "Is opera the most misogynistic art form?"

Ia mencontohkan tokoh Violetta dari La Traviata meninggal dan citranya sebagai pelacur membuat cintanya tidak direstui oleh ayah Alfredo, pria yang ia cintai. Lalu dalam kisah opera Lammemoor, Lucia dipaksa menikah dengan orang yang dipilih oleh keluarganya. Kisah tersebut berakhir dengan Lucia yang membunuh calon suaminya, kemudian mengakhiri hidupnya sendiri.

Kisah-kisah opera ini memperlihatkan bahwa perempuan sering menjadi korban dari cinta yang tidak direstui. Cerita yang disuguhkan pada pertunjukan opera mencerminkan realita perempuan pada masa itu, ditekan dengan stigma, terikat dengan peraturan keluarga, hingga tidak mampu membuat pilihan sendiri.

Karya komposer perempuan jarang dipertunjukkan

Editorial Team

Tonton lebih seru di