Isu perburuhan data LBH Bali. (Dok.LBH Bali)
Jumat malam itu, dari nobar berlanjut ke diskusi AJI Denpasar bersama DFW Indonesia, LBH Bali, dan Federasi Serikat Pekerja. Mereka adalah Laode Hardiani dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Ignatius Rhadite dari LBH Bali, dan Ida I Dewa Made Rai Budi dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), dengan moderator Ketua Bidang Advokasi AJI Denpasar, I Wayan Widyantara atau akrab dipanggil Ara.
Ida I Dewa Made Rai Budi menegaskan bahwa serikat pekerja adalah wadah bagi pekerja untuk mengorganisir diri, bukan sekadar tempat mencari perlindungan saat menghadapi masalah di tempat kerja.
”Serikat pekerja itu ibaratnya seperti rumah sakit. Biasanya, serikat pekerja baru dibentuk ketika para pekerja sudah ada masalah. Padahal, harusnya serikat pekerja dibangun dan dikuatkan sejak awal,” ungkapnya.
Dampak Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai mempersempit ruang gerak serikat pekerja. Pemerintah dan pengusaha sering melihat serikat sebagai momok atau ancaman, sehingga tidak perlu ada serikat pekerja.
Laode Hardiani mengangkat persoalan buruh perikanan yang bekerja dengan risiko tinggi di laut. ”Mereka bertaruh nyawa saat bekerja. Jaminan Sosial keselamatan kerja, serta Upah yang layak menjadi isu utama yang harus diperjuangkan,” katanya.
Ia juga menyoroti ancaman dan diskriminasi yang sering dihadapi para pekerja di kapal penangkap ikan. Upaya-upaya pemberangusan buruh yang bergabung dalam Forum Solidaritas Pekerja, yang dianggap sebagai serikat tandingan.
Selanjutnya dari perspektif hukum, Ignatius Rhadite dari LBH Bali memaparkan sepanjang 2023–2024, kasus perburuhan di Bali, tercatat 42 kasus.
”Berserikat menjadi langkah penting untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, mengingat ancaman PHK dan eksploitasi terus mengintai. Dengan berserikat, pekerja bisa lebih sejajar dengan pemilik modal,” tegas Radhite.
LBH Bali mencatat dalam studi kasusnya melalui catatan dari media, terdapat 10 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di isu perburuhan pada tahun 2024 di Bali. Total korbannya terdata sebanyak 1.665 orang (lihat tabel).
Dalam analisanya, faktor yang berkontribusi adalah masifnya penerapan kontrak kerja jangka pendek pascapengesahan UU Cipta Karya. Selanjutnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2019 mengenai penyelenggaraan tenagakerjaan juga mengakomodir sistem kerja harian (daily worker).
Maka, menekankan bahwa film "Cut to Cut" ini menjadi cermin bagi jurnalis tentang risiko PHK yang bisa menimpa siapa saja, termasuk mereka yang bekerja di industri media.
”Kami berharap serikat pekerja tidak hanya tumbuh di kalangan jurnalis, tetapi juga di berbagai sektor lainnya di Bali,” ujarnya.
Diskusi ini menjadi momentum penting dalam meningkatkan kesadaran pekerja di Bali tentang pentingnya berserikat, serta memperjuangkan hak-hak mereka dalam menghadapi dinamika ketenagakerjaan yang terus berkembang.
Dikutip dari hasil Riset AJI-FSPM Independen tahun 2023, hingga awal 2015, berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, jumlah serikat pekerja media di Indonesia hanya 38 serikat pekerja. Padahal, total media di Indonesia mencapai 2.000. Jumlah serikat pekerja media tersebut, sangat minim dibanding secara jumlah media. Jumlah serikat pekerja yang aktif juga hanya 24 serikat pekerja media.
Tingginya ketimpangan antara jumlah perusahaan media dan serikat pekerja ini merupakan ironi. Sebab, selama ini media kerap menyuarakan nilai demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Kenyataannya, soal kebebasan berorganisasi di sektor media kurang tumbuh dengan baik.
Ada sejumlah penyebab dari minimnya jumlah serikat pekerja media ini. Faktor yang paling dominan adalah karena kurangnya kesadaran untuk berserikat. Selama ini, pengorganisasian serikat pekerja lebih banyak bertumpu pada jurnalis. Keterlibatan non-jurnalis dalam serikat pekerja juga relatif minim.