"Es Kopi Susu ya. Kayak biasanya."
Beberapa menit kemudian, segelas pesanan saya tiba di meja. Karyawan kafe langganan di Jalan Serma Made, Kota Denpasar kemudian menyodorkan asbak. Dia hafal kebiasaan saya. Pukul 12.20 Wita, saya baru tiba ke kafe untuk menunaikan 'tugas'. Kemarin, saya sebenarnya kerja di sini sampai malam, lalu mengobrol singkat dengan karyawan yang akrab disapa Mong tersebut.
"Besok masih buka?"
"Buka Mbak. Tutupnya jam 3 sore. Tapi close order-nya jam 2. Ke sini aja Mbak, besok. Temenin saya," kata Mong, lalu dia terkekeh.
Saya "Oke-in" ajakan dia. Entah apa yang mendorong saya untuk menuruti kemauannya. Saya berpikir kesian juga dia bekerja sendirian, di tengah persiapan Hari Raya Nyepi. Padahal malam nanti ada Pengerupukan. Lalu esoknya Nyepi 24 jam penuh. Saya merasa punya beban moral untuk menunaikan 'tugas' ajakan tersebut. Kebetulan juga, hari ini saya sedang tidak berpuasa.
Sepanjang perjalanan menuju ke kafe, jalan raya masih tampak ramai. Terlihat seorang perempuan naik sepeda motor sedang membawa sanggah cucuk di tangan kirinya. Sementara, dia juga membawa muatan elemen upakara di antara kakinya. Lalu, ada laki-laki ojek online terlihat serius melihat Maps di handphone-nya. Dia juga membawa sebungkus canang dan elemen upakara lainnya. Kayaknya dia mencoba memastikan, apakah rutenya sesuai dengan titik lokasi pengiriman.
Hari ini, 28 Maret 202, seluruh masyarakat yang tinggal di Bali sibuk menyiapkan hari raya. Umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1947. Sedangkan umat Islam mudik untuk merayakan Idul Fitri 2025. Betapa menariknya Maret tahun ini di Bali. Dua agama merayakan hari raya hampir bersamaan. Terasa adem dan toleransi di tengah masyarakat yang sedang memperjuangkan penolakan UU TNI hasil revisi.
Dari awal Maret, jurnalis diwarnai oleh simbol teror. Bangkai kepala babi, dan lima ekor tikus yang terpenggal. Ini bukan soal gaya-gayaan sebuah media. Lantas, karena media lain tidak mendapat ancaman serupa, lalu dianggap diam dan bersekutu? Jurnalis lokal maupun nasional, yang mengemban profesi untuk menyampaikan fakta, juga mengalami ancaman pembungkaman kebebasan pers.
CATAHU Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 73 kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis dan media sepanjang 2024. Teror dan intimidasi berada di urutan kedua yang mendominasi kekerasan, yaitu 17 persen. Sementara, para pejabat publik muncul dengan narasi nir-empati. Menyepelekan, tidak bisa merasakan penderitaan. Komunikasi buruk ini dirawat sedemikian apik di depan publik dan terang-terangan. Bahkan hingga hari ini, negara belum hadir untuk mengusut tuntas, siapa pengirimnya. Apakah mereka tidak ada beban moral untuk memberikan ruang aman dan nyaman?
Entahlah. Tapi yang pasti, Ramadan 2025 ini saya ingin menikmati Nyepi. Sendirian menyepi. Sendiri, bukan berarti kesepian. Saya ingin terus menajamkan moral, empati, dan laku. Harapannya setelah ini, saya bersama teman-teman jurnalis tidak sekarat. Terus kritis dan memenuhi hak publik untuk mendapatkan informasi, meskipun dibungkam. Karena ini merupakan beban moral saya dan jurnalis lain.
Selamat bereuforia...