Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Water for life, not for profit. (eausecours.org)

Melalui Sidang Umum World Water Council (WWC) pada 19 Maret 2022 di Dakar, Senegal,
Indonesia telah terpilih menjadi tuan rumah World Water Forum (WWF) ke-10. Perhelatan Forum Air Dunia tersebut diselenggarakan pada tanggal 18-25 Mei 2024 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Kemudian, pada 12 Januari 2023, Presiden Republik Indonesia (RI), Joko "Jokowi" Widodo, mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Panitia Nasional Penyelenggara World Water Forum ke-10 tahun 2024, yang diketuai oleh Menko Kemaritiman dan Investasi sekaligus Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional, Luhut Binsar Panjaitan, bersama Ketua Harian Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Basuki Hadimoeljono.

WWF ke-10 dihadiri oleh 33 negara di antaranya Cina, Australia, Arab Saudi, Perancis, Belanda, Jepang, Brazil, dan negara lainnya.

Indonesia mengusung tema Water for Shared Prosperity yang mengacu pada laporan United Nations Children's Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) tahun 2022, bahwa sekitar 2,2 miliar orang di dunia tidak memiliki akses ke air minum yang aman dan bersih. Secara spesifik tema besar itu diturunkan dalam 6 sub tema: Water for Humans and Nature; Water Security and Prosperity; Disaster Risk Reduction and Management; Governance Cooperation and Hydro Diplomation; Sustainable Water Finance; dan Knowledge and Innovation. 

Air untuk kemakmuran bersama yang diusung oleh World WWF ke-10 tidak dirasakan oleh masyarakat Bali, utamanya yang tinggal di wilayah Selatan. Kemakmuran ini hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kecukupan modal untuk mengakses air. Negara bersikap tidak adil dan hipokrit dalam merealisasikan visi kemakmuran, dengan mengampanyekan seolah-olah WWF berkomitmen atas distribusi air yang merata dan inklusif terhadap siapa pun. Namun pada praktiknya, prapenyelenggaraan WWF hingga saat ini, negara justru menutup akses air terhadap masyarakat.

"Airnya kadang hidup, kadang mati. Ini kebetulan posisi lagi mati, sudah sekitar dua minggu lebih. Tak telepon pihak PDAM, katanya untuk sementara (air PDAM) dialihkan ke Nusa Dua. Karena mau ada event WWF," keluh Bli Ketut (bukan nama sebenarnya) saat ditemui di kediamannya daerah Kuta Selatan pada Kamis, 9 Mei 2024. 

Selain Bli Ketut, Puteri (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Universitas Udayana (Unud) yang tinggal di Goa Gong, juga mengalami hal serupa. 

"Air di kos mati sejak dua bulan yang lalu, sejak bulan April. Kata bapak kos, air mati dari pusat (PDAM). Jadi, air buat mandi dan nyuci dari tanki air. Itu pun tankinya diisi seminggu sekali," tutur Puteri lewat panggilan WhatssApp pada Selasa, 21 Mei 2024.

World Water Forum (WWF): sebuah konsensus elit menjadikan air sebagai komoditas, bukan sebagai hak publik

Parliamentary Meeting World Water Forum ke-10. (api2.kemenparekraf.go.id)

World Water Forum atau Forum Air Dunia merupakan pertemuan tiga tahunan World Water Council atau Dewan Air Dunia. Perhelatan WWF pertama kali diselenggarakan di Marrakech, Maroko, pada tahun 1997. Dalam pertemuan ini, World Water Council  memprakarsai 'Visi Air Dunia' yaitu "Visi Jangka Panjang untuk Air, Kehidupan dan Lingkungan di Abad ke-21" yang tertuang dalam dokumen World Water Vision: Making Water Everybody's Business.

Untuk merealisasikan visi tersebut, Dewan Air Dunia membentuk World Water Commission atau Komisi Air Dunia pada tahun 1998. Dalam catatan Pengamat Perusahaan Eropa (corporateeurope.org) menyebut komisi ini mencakup beberapa tokoh korporat dan neoliberal terkemuka termasuk: Jerôme Monod, Suez Lyonnaise des Eaux Chair; Maurice Strong, pendiri badan Greenwash, Business Council on Sustainable Development (sekarang dikenal sebagai WBCSD); Robert S McNamara, mantan Presiden Bank Dunia; Enrique Iglesias, Presiden Bank Pembangunan Inter-Amerika; Mohamed T El-Ashry, CEO Bank Dunia/Fasilitas Lingkungan Global PBB; dan Ismail Serageldin sebagai Ketua.

Madeline Baer yang menulis The Global Water Crisis, Privatization, and the Bolivian Water War, menyebut perusahaan Suez Lyonnaise masuk dalam daftar 10 perusahaan terbesar yang menguasai bisnis air dunia. 

Maka tak heran jika Stephan McCaffrey dalam tulisannya A Human Right to Water: Domestic and International, menyimpulkan WWF sebagai ajang konsolidasi para pemodal untuk memperluas monopoli pangsa air. Hubungan erat antara lembaga pemberi pinjaman International Monetary Fund (IMF), World Bank (Bank Dunia), dan perusahaan air turut meluas ke badan-badan politik pemerintah lokal dan merupakan penyebab memburuknya kesejahteraan sosial. Hubungan antara politik dan bisnis telah mempersempit dan mengurangi subsidi negara untuk memenuhi kebutuhan publik atas air dan mendorong peningkatan keuntungan bisnis air multinasional. Melalui World Water Forum, korporasi sangat efektif melakukan lobi kepada pemerintah lokal untuk mengefisiensi aturan pengelolaan sumber daya air agar tunduk pada kepentingan pasar. 

Satu dari lima kerangka aksi yang ditargetkan oleh Dewan Air adalah menjadikan air sebagai barang dagang. Sebagaimana 'Prinsip Dublin', air harus diperlakukan sebagai barang ekonomi karena kelangkaannya. Maka pada konsensus WWF yang pertama, terbit rekomendasi agar pengguna air dikenakan biaya penuh atas penyediaan layanan air dan harus membayar untuk mendapatkan, memanfaatkan, serta mengolah air. Skema komersialiasi air yang ditawarkan WWF meredefinisi konsepsi pengguna air sebagai pelanggan (individu) dalam konteks pasar alih-alih kumpulan masyarakat (warga negara). 

Komodifikasi air oleh WWF justru bertentangan dengan kovenan Dewan Ekonomi dan Sosial Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan Pendapat Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB Nomor 15 tahun 2002 menyatakan bahwa air adalah sumber daya alam yang terbatas, serta merupakan barang publik yang penting bagi kehidupan dan kesehatan. Hak asasi manusia atas air sangat diperlukan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Hal ini merupakan prasyarat bagi terwujudnya hak-hak asasi manusia lainnya. Air harus diperlakukan sebagai barang sosial dan budaya, dan bukan sebagai barang ekonomi.

World Water Forum menuntut pemerintah agar melakukan deregulasi dan privatisasi atas air

Editorial Team

Tonton lebih seru di