[OPINI] THR Ojol, Langkah Berani Presiden atau Bom Waktu?

Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengumumkan keputusan yang langsung bikin geger jagat pekerja di Indonesia. Tunjangan Hari Raya (THR) bukan cuma buat pegawai tetap dan buruh pabrik, tapi juga merangkul mitra pengemudi dan kurir online! Ini tentu bukan keputusan biasa, karena selama ini status mereka sebagai pekerja gig ekonomi selalu menjadi perdebatan. Sekitar 250 ribu pengemudi dan kurir online aktif, ditambah 1,5 juta mitra paruh waktu, kini punya peluang merasakan tunjangan yang sebelumnya hanya mimpi.
Kebijakan ini langsung disambut dengan beragam reaksi. Ada yang senang, ada yang skeptis, dan tak sedikit yang bertanya "Gimana implementasinya?" Pasalnya, perusahaan layanan transportasi dan logistik daring tentu akan menetapkan berbagai syarat bagi mitranya. Misalnya, seorang pengemudi online minimal melakukan 250 trip dalam sebulan atau online sembilan jam per hari. Ini tantangan besar bagi para driver yang fleksibilitasnya justru jadi alasan utama mereka memilih pekerjaan jasa ini.
Di sisi lain, kebijakan ini merupakan pengakuan terhadap peran besar gig worker dalam perekonomian. Selama ini, mereka menjadi tulang punggung transportasi dan logistik digital tanpa jaminan kesejahteraan yang jelas. Dengan adanya THR, setidaknya ada bentuk apresiasi nyata dari negara. Namun, apakah langkah ini cukup untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang?
Dari sudut pandang ekonomi mikro, ada dua sisi yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kebijakan ini bisa meningkatkan daya beli para pekerja gig economy, terutama menjelang hari raya. Ketika uang THR masuk, konsumsi rumah tangga meningkat, roda ekonomi berputar lebih cepat. Tapi di sisi lain, bagaimana dengan keberlanjutan bisnis perusahaan layanan yang harus menanggung beban biaya tambahan?