Ilustrasi Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)
Seperti yang telah ditulis oleh Azza Karam, dkk dalam bukunya “Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar Jumlah, Bukan Sekadar Hiasan” memberikan gambaran tentang pentingnya perempuan dalam bingkai kekuasaan lembaga pemerintahan, khususnya pada lembaga perwakilan.
Para penulis tersebut berpandangan, bahwa politik merupakan representasi dari kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, dan merupakan bagian integral yang tentunya tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Sebaliknya, hak asasi manusia tersebut merupakan pondasi dasar yang sudah semestinya ditopang oleh kerangka kerja demokrasi. Dengan adanya demokrasi inilah maka tiap-tiap pandangan dari berbagai kelompok dirasa perlu untuk dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil keputusan yang akan menjadi representasi dari berbagai kelompok dan golongan.
Dalam menyelesaikan berbagai masalah, maka dirasa perlu untuk mempertimbangkan perspektif gender dengan cara melibatkan perempuan dalam bingkai diskusi mengenai kebijakan-kebijakan, yang tidak hanya berdampak oleh laki-laki saja, namun juga perempuan. Oleh karena itu, keputusan tersebut ialah sine qua non dari berbagai elemen kerja demokratik.
Indonesia telah lama memulai perjalanan kesetaraan gender di bidang politik, yakni dengan meratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan ke dalam Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Peraturan tersebut telah mengatur paket lengkap mengenai hak-hak politik perempuan seperti hak memilih dan dipilih, hak untuk mendapatkan jaminan partisipasi dalam membuat kebijakan, hak untuk menempati posisi jabatan birokrasi, hingga hak untuk berpartisipasi aktif dalam organisasi sosial politik.
Upaya lain untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam politik juga diikuti dengan berbagai kebijakan afirmatif, diantaranya seperti paket politik yang diwajibkan kepada partai politik untuk memerhatikan sekurang-kurangnya 30 persen keterlibatan perempuan sebagai peserta pemilu melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Tidak hanya dalam pemilu, upaya pemerintah untuk mendorong partisipasi perempuan juga diatur dalam instrumen pemilu. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu misalnya, aturan ini mengharuskan setiap KPU mulai dari tingkat pusat sampai di daerah harus memiliki komposisi sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam keanggotaannya.
Dengan adanya dorongan dan semangat pemerintah dalam melibatkan perempuan untuk berpolitik, maka diharapkan hal tersebut dapat mengalami peningkatan. Namun pada kenyataannya, data menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan data yang dilansir oleh Inter-Parliamentary Union pada tahun 2022 menunjukkan jumlah partisipasi perempuan pada politik, khususnya keterlibatannya di parlemen, menempati urutan ke 105 dunia atau 21,9 persen. Sementara itu, urutan tertinggi diperoleh oleh Rwanda yakni sebesar 61,3 persen.