Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)
Pakar Politik Donald L Morowitz (1998) dari Universitas Duke telah mendefinisikan politik identitas sebagai pemberian garis yang sangat tegas untuk menentukan siapa saja yang akan diikutsertakan dan siapa yang akan ditolak. Suatu garis penentuan tersebut tidak bisa diubah, status sebagai anggota mauapun stakeholder akan terlihat bersifat permanen.
Sementara itu Agnes Heller (Abdillah, 2002:22) mengambarkan terkait politik identitas dalam hal ini yang difokuskan pada suatu pembedaan, di mana kategori utamanya adalah menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain walau akhirnya memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etis. Sehingga pada akhirnya politik identitas dapat mencakup rasisme, bio-feminisme, politik isu lingkungan, dan perselisihan etnis.
Di Indonesia, faktor-faktor yang dianggap memberikan kontribusi terhadap munculnya politik identitas yaitu pertama, ditinjau dari sejarah kolonialisme. Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, yang telah memengaruhi perkembangan politik di Indonesia. Kolonialisme telah memperkuat identitas etnis dan agama, serta memperburuk persaingan antarkelompok.
Sejak kemerdekaan Indonesia, politik identitas terus muncul karena perjuangan untuk mempertahankan identitas dan kebudayaan masing-masing kelompok. Kedua, ditinjau dari ketidakadilan sosial dan ekonomi di Indonesia yang menyebabkan ketegangan serta kesenjangan di antara masyarakat.
Politik identitas dapat muncul sebagai cara untuk kelompok-kelompok yang merasa tidak terwakili dalam sistem politik, agar dapat menuntut hak dan keadilan yang mereka anggap telah diabaikan. Selanjutnya ketiga, konflik agama di Indonesia telah terjadi sejak lama dan menjadi tantangan utama bagi persatuan serta keamanan nasional.
Ada beberapa kasus yang dapat menjelaskan itu semua, di antaranya konflik sekretariat Kepulauan Maluku yang merupakan konflik etnis-politik, di mana di dalamnya melibatkan agama di Kepulauan Maluku khususnya Pulau Ambon dan Halmahera.
Konflik ini bermula pada era Reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002. Menurut berbagai sumber, penyebab permasalahan politik tersebut adalah menyangkut agama, yang menimbulkan perseteruan antara umat Kristen dan Islam pada Januari 1999.
Perseteruan tersebut dengan cepat berubah menjadi pertempuran dan tindak kekerasan terhadap warga sipil oleh kedua belah pihak. Dua pihak utama yang terlibat konflik ini adalah kelompok milisi agama, termasuk kelompok Islamis bernama Laskar Jihad, dan keterlibatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Selanjutnya keempat, kebijakan politik yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia, terutama dalam hal otonomi daerah, juga telah memberikan kontribusi pada munculnya politik identitas. Seiring dengan pemberian otonomi daerah, muncul keinginan untuk memperkuat identitas pada setiap daerah di Indonesia, yang seringkali berdasarkan pada perbedaan etnis atau agama.
Faktor kelima, fragmentasi politik yang ada pada sistem politik Indonesia di mana bersifat demokratis terbuka untuk partai politik dan kandidat independen. Hal ini juga dapat memecah belah masyarakat dan menciptakan kelompok-kelompok politik yang didasarkan pada identitas tertentu. Kelompok-kelompok ini kemudian dapat memanfaatkan politik identitas untuk memperoleh dukungan.
Adapun faktor selanjutnya yaitu tentang pengaruh medsos. Fenomena politik identitas seringkali muncul dalam konteks politik Indonesia dan perkembangan teknologi informasi serta komunikasi, khususnya medsos, dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fenomena ini.
Medsos seperti Facebook, Twitter, TikTok, dan Instagram telah menjadi platform yang sangat populer di Indonesia bahkan dunia, digunakan oleh jutaan orang untuk berkomunikasi, berinteraksi dan berbagi informasi. Dalam konteks politik, medsos dapat memengaruhi pilihan politik masyarakat melalui konten-konten yang ia unggah.
Kelompok-kelompok politik identitas dapat menggunakan medsos untuk memengaruhi pandangan dan opini masyarakat tentang calon politik tertentu, serta mendorong masyarakat untuk memilih calon politik yang sesuai dengan identitas mereka.
Faktor yang menjadi sorotan terbaru tentang penggunaan politik identitas oleh para elit-elite partai politik. Elite partai politik tersebut seringkali menggunakan politik identitas untuk memperoleh dukungan politik di daerah-daerah tertentu.
Mereka menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan identitas keetnisan atau keagamaan untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dengan identitas yang sama. Hal ini seringkali dilakukandi dengan ruang atau lokus medsis bahkan media massa untuk menyebarkan narasi politik identitas yang agitatif.
Dalam konteks pemilu, politik identitas juga digunakan oleh elite partai politik untuk memenangkan kepentingan yang diharapkan. Mereka seringkali menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan identitas untuk menarik perhatian masyarakat dan memenangkan suara dari kelompok-kelompok masyarakat dengan identitas yang sama. Sepertinya itu sebuah kepastian dalam perpolitikan di Indonesia.