Mahasiswa digadang-gadang sebagai agent of change atau agen perubahan sosial. Maka tak ayal, dalam dinamika politik suatu negara, mahasiswa dan mahasiswi terlibat dalam berbagai pergerakan perubahan untuk tujuan memperbaiki keadaan.
Sayangnya, semangat mereka sebagai agen perubahan masih belum sampai menyentuh pada aspek sensitivitas gender. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana regenerasi mahasiswa baru di berbagai kampus jarang, atau bahkan tidak memiliki agenda penetrasi keilmuwan yang mengarah pada rekonstruksi gender yang ramah terhadap kelompok termarjinalkan.
Beberapa waktu lalu, himpunan mahasiswa perguruan tinggi di Bali mengadakan program kegiatan masa orientasi mahasiswa tingkat program studi (prodi). Mahasiswa baru (Maba) diminta menyanyikan lagu mars secara online dan didokumentasikan, kemudian diunggah ke akun Instagram pribadi dengan men-tag Instagram himpunan mahasiswa kejuruan.
Jika didengarkan secara saksama, lagu mars tersebut mengandung unsur pelecehan seksual yang bersifat verbal. Jika verbalitas pelecehan seksual saja dinormalisasi, maka rentan kemungkinan kekerasan seksual yang bersifat fisik seperti perkosaan akan dianggap sebagai hal biasa atau lumrah. Berikut ini catatan penulis dalam fenomena ini.