Ilustrasi perhiasan emas di toko emas. (IDN Times/Saifullah)
Emas secara tradisional diterima sebagai lindung nilai yang populer terhadap krisis. Kita sering melihat harga emas melonjak ketika ketakutan masyarakat global semakin tinggi. Contohnya pada saat wabah COVID-19 dimulai, harga emas terus naik. Terlepas dari kenyataan bahwa emas tidak dapat memberikan dividen dan tidak dapat dikonsumsi secara bermanfaat seperti, katakanlah, minyak atau kayu, emas sepertinya dapat menjadi investasi yang menguntungkan.
Dalam 15 tahun terakhir harga emas di pasar global telah naik sebesar 118,74 persen (setara 7,92 persen per tahun) dan 447,71 persen dalam 30 tahun terakhir (setara 14,92 persen per tahun). Inilah sebabnya mengapa banyak pialang emas berjangka membingkai emas dalam iklan pemasarannya sebagai investasi bersejarah yang aman untuk jangka panjang, sambil memicu ketakutan terhadap pemerintahan yang zolim dan keruntuhan peradaban masyarakat. Tapi apakah itu pilihan jangka panjang terbaik untuk menumbuhkan kekayaan kita? Mungkin saja tidak jika kita menggunakan perbandingan dengan kelas aset investasi yang lainnya.
Indeks saham global seperti Dow Jones Industrial Average mencatatkan pertumbuhan 149,94 persen dan 904,13 persen dalam 15 dan 30 tahun terakhir. Angka tersebut setara dengan masing-masing 9,99 persen dan 30,13 persen per tahunnya. Sementara indeks saham negara kita mampu bertumbuh sampai 150,06 persen dan 2.404,06 persen dalam dua periode waktu yang sama, atau setara dengan masing-masing 10 persen dan 80,14 persen per tahunnya.
Dua contoh perbandingan di atas memberikan gambaran bahwa pasar saham ternyata lebih mampu memberikan pertumbuhan kekayaan dibandingkan emas. Tapi bukankah emas lebih aman karena pergerakan nilainya tidak segila pasar saham? Bukankah risiko yang rendah merupakan daya tarik dari investasi emas yang sering diceritakan banyak orang?
Sayangnya kepercayaan klasik itu ternyata kurang tepat. Risiko dalam berinvestasi sendiri dapat dinyatakan dalam berbagai indikator. Satu indikator yang dapat menggambarkan risiko fluktuasi harga sebuah aset adalah standar deviasi. Semakin besar angka standar deviasinya, maka semakin berisiko aset investasi tersebut dalam konteks fluktuasi harganya.
Berdasarkan artikel yang dirilis oleh Forbes Finance Council pada tahun 2021, ketika memperbandingkan emas dengan indeks obligasi dan indeks saham Amerika pada periode 1 Januari 1975 hingga 30 September 2020, menemukan bahwa emas memiliki angka standar deviasi 5,68 persen di mana obligasi memiliki angka 1,15 persen dan saham memiliki angka 4,34 persen.
Normal bagi obligasi atau surat utang untuk memiliki risiko yang rendah, apalagi obligasi yang dijamin oleh negara. Namun, sangat mengejutkan bahwa ternyata harga emas lebih berisiko ketimbang harga indeks saham secara jangka panjang. Padahal seharusnya dengan risiko yang tinggi, potensi keuntungan yang seharusnya dapat kita peroleh semakin tinggi juga, dan sebaliknya. Bukankah ini membuat posisi emas sebagai alat investasi yang aman dan menguntungkan menjadi patut dipertanyakan?