Rwa Bhineda tidak hanya sebuah ungkapan yang bermakna dualisme dalam kehidupan masyarakat Bali, perihal baik buruk, atas bawah, maupun sejenisnya. Namun lebih jauh dari itu, konsep Rwa Bhineda menempatkan manusia Bali pada titik tengah kehidupan, sehingga sesungguhnya selalu ada ruang untuk tetap berpikir positif.
Pandemik COVID-19 yang melanda Bali, telah menghentak kemampuan berpikir tentang Rwa Bhineda tersebut, kekacauan dalam diri masyarakat bermunculan. Analoginya adalah seperti seseorang yang tidak bisa berenang, namun dengan tiba-tiba diceburkan ke dalam kolam. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah tetap tenang, karena kepanikan tentu tidak akan menolong.
Ketenangan hanya akan muncul kala manusia mampu berada di titik tengah dengan kembali kepada konsep pemahaman Rwa Bhineda itu sendiri. Apabila kita mengungkap sisi buruk virus corona, tentulah sangat banyak. Terlebih hanya dalam kurun beberapa waktu saja, virus ini telah menelan korban jiwa dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja.
Namun dalam perspektif Rwa Bhineda, tentunya virus ini juga memberikan dampak positif. Seperti yang kita ketahui, Pulau Bali dan masyarakatnya dengan segala tatanan yang ada, telah mengalami perubahan yang justru menjauhkan mereka dari nilai-nilai yang telah dibangun oleh leluhur orang Bali. Setidaknya hal inilah yang juga diungkapkan oleh Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD dalam bukunya berjudul Membaca Perubahan Bali.
Menurut penulis buku tersebut, ada lima sendi dalam kehidupan masyarakat Bali yang sudah mulai bergeser, di antaranya agama, adat, budaya, sosial, dan pendidikan. Pergeseran makna itu juga berdampak terhadap kehidupan kesenian. Bali yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai seni budaya, telah mengalami perubahan yang cukup signifikan, utamanya seni pertunjukan tradisonal.