I Wayan Damai (berbaju hijau) saat sedang bercerita tantangannya sebagai disabilitas fisik (dok.pribadi/Leona Wirawan)
Hal menarik lainnya adalah presensi I Wayan Damai sebagai satu-satunya seniman yang tampil dengan alat bantu adaptif di pameran ini. Objek fotografinya pun dirinya sendiri sehingga semakin personal. Ia yang dahulu juga belum mengenal alat bantu adaptif. Hadirnya alat bantu adaptif di hidupnya mampu membuat pria asal Tegalalang itu pergi bekerja, melakukan pekerjaan domestik, dan lainnya.
“Dahulu, sebelum ada kursi roda itu sangat berat. Latar belakangnya saya dari kampung. Saya dulu sekolah ditolak karena dinilai merepotkan dan tidak perlu sekolah. Jadi, saya melukis lukisan tradisi untuk menghasilkan uang. Cuma saya tidak bisa menuliskan nama sendiri di lukisan itu. Sedih sekali. Untuk mandi dan lainnya, saya merangkak,” tutur Damai.
Ia melanjutkan, “Setelah berpasrah ke Tuhan, saya bisa sekolah di SLBN Bangli. Saya berjuang di situ supaya bisa membaca dan menulis. Karena sudah bisa baca-tulis, saya berpikir balik kampung di kelas 2 SD. Tapi, guru membujuk terus untuk mau lanjut (sekolah). Dari situ, saya ikut seni dan olahraga. Akhirnya, dapat kursi roda standar. Tangan jadi sakit semua untuk jarak sekian kilo pakai itu. Baru sejak pakai kursi roda adaptif, saya bisa lebih aktif berkegiatan karena nyaman untuk jalan jauh. Saya bisa mandiri saat di bandara bawa-bawa barang.”
Ada konstruksi sosial mengenai disabilitas di masyarakat yang ingin didobrak Damai. Anggapan bahwa disabilitas hanya sebuah kekurangan. Padahal masih ada banyak hal yang bisa diperbuat, termasuk bekerja dan berkarya. Makanya, alat bantu adaptif menjadi penting dengan diikuti pula fasilitas publik yang ramah disabilitas.
“Saya jengah supaya teman-teman tidak merasakan seperti saya. Pengalaman (pahit) itu cukup di saya, yang lain tidak usah mengalami.”
Pamerannya boleh hanya delapan hari dan bersifat cuma-cuma. Namun, kamu yang akan berkunjung pasti memetik pembelajaran tak ternilai dan bisa dibagi ke sekitar. Apalagi kalau bukan untuk mendorong negara menjadi lebih inklusif. Cao, berangkat!