Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Perempuan Bali menyunggi sesajen. (IDN Times/Yuko Utami)
Perempuan Bali menyunggi sesajen. (IDN Times/Yuko Utami)

Gianyar, IDN Times - "Perempuan tiang peradaban, mereka yang menghormati perempuan mampu menuai kedamaian hidup." Setidaknya itu satu bait yang tertuang dari Kitab Sarasamuscaya. Setiap perempuan akan menjadi ibu, Indonesia merayakannya lewat Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember. Baik kitab agama maupun negara terlihat menghormati dan memuliakan perempuan. Namun, para ibu di Bali mungkin tak merasa demikian.

Tak ada yang lebih dekat selain lagu dari Band Nosstress berjudul Bu Darmi. Rilis pada 2021, Bu Darmi mengisahkan realitas perempuan di Bali dalam cengkeraman patriarki. Sebagai seorang Ibu di Bali, Bu Darmi tak dapat berhenti. Toksiknya patriarki membuatnya hidup dalam produktivitas yang toksik. Ia harus bangun lebih pagi, menjadi manajer keuangan keluarga, pelaksana upacara agama yang gak pernah putus, dan memasak untuk isi perut keluarga.

Bu Darmi terjerat produktivitas dan penghematan toksik

Ilustrasi aktivitas di Pasar Badung pada malam hari. (IDN Times/Yuko Utami)

Bagian awal lagu ini mengisahkan aktivitas Bu Darmi yang semakin repot menjelang hari raya keagamaan Hindu di Bali. Uang dari suami yang tak seberapa itu, menuntutnya jadi bendahara di perusahaan yang pailit. Realitas ini semakin pahit, ketika Bu Darmi terpaksa berutang demi melengkapi bejibun kebutuhan upacara dan rumah tangga.

Entah sejak kapan standar sosial muncul melebihi esensi yadnya (tulus ikhlas). Ketika keluarga besar dan orang sekitar mengkritik persembahan sesajen dari kuantitas dan ukuran, hati seorang Ibu ikut goyah. Belum lagi pasangan yang semestinya jadi sosok penguat, justru hadir bagai benalu. Tak berbuah solusi, setiap hari terjebak kebuntuan dan memikirkan jalan keluar sendiri.

Lelah fisik dan mental, begitu kuat tergambar dalam sosok Bu Darmi. Ibu-ibu kelas menengah ke bawah di Bali merasakan betul pengalaman Bu Darmi. Belum lagi ketika kehidupan rumah tangga berakar pada garis patriarki dan konservatif, membuat ibu di Bali berada pada posisi subordinat.

Ibu menutup derita keluarga, merasakan multi beban sepanjang hayat

Ilustrasi petani perempuan. (IDN Times/Yuko Utami)

Lagu Bu Darmi kian miris, ketika bait-bait liriknya terus mengajak pendengar menuju realita kelam Ibu di Bali. Setiap hari berkutat dengan uang belanja yang tak seberapa, sepulang dari pasar langsung memasak, anak banyak, suami gak peduli. Uang pas-pasan itu harus cukup makan tiga kali, tapi Bu Darmi melakukan itu semua tanpa asupan makanan. Ibu-ibu kerap makan setelah anggota keluarga lainnya selesai, duduk di pojok dengan dingklik. Mencoba lahap meskipun seharian lelah dengan beban kerja domestik yang tak putus-putus.

Sementara suami langsung pergi, setelah makan piring tak dicuci sendiri. Keluar cari udara segar katanya, sedangkan Bu Darmi kembali ke dapur penuh sesak perabotan masak. Bayangkan, itu setiap hari dilakukan Bu Darmi. Belum lagi, Bu Darmi punya suami yang gemar sabung ayam. Kalah taruhan, Bu Darmi jadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) suaminya. Doktrin toksik perempuan harus patuh dan manut, jadi neraka bagi Bu Darmi. Ingin keluar dan mengakhiri ini semua, tapi jadi janda di Bali bukan pilihan mudah. Beban psikologis belum sepenuhnya lepas, cibiran dan tradisi lama konservatif membuat janda sulit diterima kembali ke keluarga asalnya.

Hari Ibu dalam bayang-bayang kekerasan rumah tangga

Ilustrasi KDRT (IDN Times /Aditya Pratama)

Bu Darmi menjadi sosok penggambaran para Ibu di Bali, jauh dari jangkauan solidaritas perempuan, membuat posisi Bu Darmi semakin terhimpit. Perempuan masa kini di Bali juga masih dibayangi kecemasan akan berumah tangga. Perempuan dituntut serba bisa, baik hati, masih perawan, dan syarat lainnya hanya untuk dipinang laki-laki. Sementara, menemukan pasangan suportif yang mengutamakan kesetaraan gender ibarat mencari jarum di tumpukan berton-ton jerami.

Bu Darmi dan para Ibu di Bali butuh keluar dari ketimpangan peran domestik. Menguatkan narasi kesetaraan di rumah tangga jadi tanggung jawab semua pihak. Seremonial Hari Ibu dengan berbagai buket bunga mewangi, tidak membuat Bu Darmi dan para Ibu lainnya terbebas dari jerat toksiknya patriarki. Lalu, sudahkah kita menghormati Ibu dengan setulus hati, tanpa menuntut balas dan kasih? Sudahkah kita menyadari bahwa Ibu juga manusia biasa yang butuh istirahat? Sudahkah kita?

Editorial Team