Ilustrasi UNICEF Indonesia (unicef.org/indonesia)
Selama ini umumnya publik menilai bahwa eksploitasi ekonomi hanyalah tentang seorang anak yang diharuskan bekerja kasar seperti menjadi kuli, berjualan di jalan, mengemis, dan lainnya. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum menyadari soal eksploitasi lewat konten, karena dianggap membuat konten hanyalah untuk bersenang-senang saja.
Umumnya, seorang content creator mendapatkan uang dari hasil engagement (jumlah interaksi akun) sosial medianya. Ketika engagement sosial media tinggi, maka tarif endorsement-nya tinggi. Engagement sosial media tergentung apakah konten yang dibuat dapat menarik perhatian pengguna sosial media yang lain atau tidak.
Pada pasal 16 Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Anak, disebutkan bahwa tiap anak berhak atas privasi dan perlu dilindungi dari pelanggaran privasi. Artinya, setiap anak memiliki hak untuk menolak apabila tidak ingin atau tidak nyaman dipublikasi ke media sosial, apalagi menjadi "tulang punggung" keluarga.
Sementara pada Pasal 64 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.
Lalu pada Pasal 65 ditekankan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Dengan menggunakan anak sebagai objek konten untuk menarik adsense dan endorse, orangtua menjadikan anak sebagai alat mata pencaharian. Padahal, anak-anak tidak memiliki kewajiban untuk menghasilkan uang, terutama apabila hal itu membahayakan kesehatan fisik maupun mentalnya.