Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
foto hanya ilustrasi. (pixabay.om/merlinlightpainting)

Seorang filsuf perempuan asal Prancis yakni Simone de Beauvoir memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah budaya patriarki masa itu. Ia ditemani oleh sang kekasih yakni Jean Paul-Sartre hingga akhir hayatnya. Beavouir tidak saja menyuarakan kebebasan melalui teorinya, melainkan dari laku hidupnya sendiri. Hal ini terbukti ketika menjalin hubungan dengan Sartre, Ia memilih hubungan bebas, tidak menikah, dan mendobrak nilai-nilai masyarakat. Biarpun semasa hidupnya mereka bebas, tapi di akhir hayat, pusara mereka bersebelahan menandakan ikatan cinta yang kuat walaupun menentang nilai-nilai tradisional.

Pikiran Beavouir mengenai hak perempuan tak lepas dari aliran existentialism, yakni manusia merupakan esensi atau manusia memiliki caranya untuk ber-ada. Karena manusia adalah makhluk yang sadar, maka manusia bebas memiliki kehendak untuk menentukan caranya ber-'ada'. Kesadaran itulah yang diperjuangkan oleh seorang Beavouir melalui filsafat feminin existentialism. Kesadaran seorang perempuan jangan sampai diopresi, dieksploitasi, dan dimanfaatkan oleh kaum laki-laki melalui berbagai bidang, sebut saja agama, politik, budaya, dan sosial.

Kemudian, apakah ketika seorang perempuan dengan sadar bahwa dirinya memiliki kehendak bebas atas tubuh, pikiran, dan perasaan, maka Ia akan menjadi seorang feminin? Tentu Ia sudah selaras dengan paham feminin, tetapi Beavouir maupun Sartre tidak selesai hanya menjadi bebas saja. Ada “Konsekuensi” yang melekat oleh manusia lain ketika seorang perempuan memilih untuk bebas. Misal, ketika seorang perempuan memiliki kehendak untuk menjadi seorang pemimpin, memilih untuk menunda menikah maka masyarakat akan menilai bahwa perempuan tersebut sudah keluar dari hakikatnya. Masyarakat kita mengenal kalau seorang perempuan harus menurut, welas asih, dan bekerja sebatas domestik saja, tidak diperuntukkan untuk publik. Sehingga ketika ada perempuan yang berusaha mendobrak, maka masyarakat akan mengecap perempuan itu sebagai perempuan yang tidak paham hakikatnya.

Konsekuensi yang didapat adalah harga yang harus dibayar oleh seorang perempuan ketika mempunyai kesadarannya sendiri dan hak untuk memilih. Aliran feminin timbul untuk menyadarkan masyarakat—tidak hanya perempuan—bahwa perempuan dipandang sebagai objek, dan perempuan bukanlah makhluk yang dilahirkan melainkan makhluk yang dibentuk oleh masyarakatnya. Misal di dalam agama, perempuan diciptakan untuk mendampingi seorang lelaki. Istilah mendampingi tersebut melekat pada alam bawah sadar perempuan dan diperkuat oleh masyarakatnya sehingga perempuan tidak memiliki hak untuk memilih dan berujung patuh terhadap lelaki.

Editorial Team

Tonton lebih seru di