Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perempuan memakai celana jeans (unsplash.com/Kateryna Hliznitsova)
foto hanya ilustrasi (unsplash.com/Kateryna Hliznitsova)

Tubuh perempuan selalu menjadi medan tarik-menarik kekuasaan. Dalam sejarah, ia bukan hanya entitas biologis, tetapi juga simbol moralitas , alat propaganda, dan komunitas ekonomi. Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan memotret hal ini melalui tokoh utamanya yaitu Dewi Ayu dan anak-anaknya, yang tubuhnya terus dinegosiasikan, dimanfaatkan, bahkan diperebutkan oleh kekuatan militer, politik, dan sosial. Ironisnya fenomena ini tidak berhenti di masa kolonial atau perang, di era modern, tubuh perempuan tetap berada di bawah kendali berbagai bentuk kekuasaan baru.

Tubuh perempuan sebagai komoditas kekuasaan di Cantik Itu Luka

Dewi Ayu menjadi pekerja seks bukan semata pilihan ekonomi, tetapi akibat dari situasi perang dan perebutan kekuasaan. Dalam konteks pendudukan Jepang, tubuhnya masuk dalam logistik perang, sebagaimana praktik jugun ianfu yang benar-benar terjadi dalam sejarah Indonesia.

Anak-anaknya pun mengalami hal serupa, tubuh mereka menjadi alat tawar dalam relasi sosial dan politik. Eka menggambarkan bahwa dalam masyarakat patriarkal, tubuh perempuan kerap didefinisikan oleh kepentingan laki-laki yang memegang kekuasaan, entah sebagai tentara, politisi, atau preman.

Politik tubuh di masa kini

Meskipun konteks peperangan fisik sudah lama berakhir di Indonesia, bentuk kontrol atas tubuh perempuan masih berlangsung hingga saat ini. Bedanya, medan perangnya kini meluas:

Kontrol Hukum, hak reproduksi perempuan di Indonesia masih menjadi wilayah yang sarat intervensi negara. Perdebatan tentang aborsi, kontrasepsi, dan pernikahan anak memperlihatkan bahwa tubuh perempuan belum sepenuhnya menjadi milik mereka sendiri.

  • Aborsi, diatur secara ketat melalui KUHP dan UU Kesehatan dengan pengecualian terbatas (korban perkosaan atau keadaan darurat medis). Kendali ini menempatkan keputusan terakhir pada lembaga hukum dan medis, bukan pada perempuan yang mengandung.

  • Kontrasepsi, sering kali menjadi bagian dari program negara seperti KB, yang meski bertujuan mengendalikan populasi, juga pernah dipakai pada era Orde Baru sebagai instrumen politik kontrol keluarga.

  • Pernikahan anak, meski batas minimal usia nikah sudah dinaikkan menjadi 19 tahun, dispensasi masih sering diberikan, terutama daerah dengan norma sosial yang kuat. Akibatnya, pernikahan anak tetap berlangsung dan berisiko memperkuat siklus kemiskinan serta membatasi kesempatan perempuan.

Kesinambungan luka dari masa perang ke era digital

Sejarah perempuan di Indonesia, baik dalam fiksi maupun realitas, menunjukkan sebuah pola yang terus berulang bahwa tubuh perempuan sering kali menjadi lahan perebutan kuasa. Perubahan zaman memang menggeser bentuk dan wajah kekuasaan itu, tetapi logika dasarnya tetap sama, tubuh perempuan adalah medan yang bisa dikuasai, dikontrol, bahkan diperdagangkan.

Dalam Cantik Itu Luka, Dewi Ayu menjadi potret perempuan yang hidup di masa ketika eksploitasi tubuh dilakukan secara langsung tanpa basa-basi, seperti:

  • Konteks penjajahan dan perang, Dewi Ayu dipaksa menjadi pekerja seks bagi tentara kolonial dan pendudukan Jepang. Tubuhnya menjadi "hadiah" dan "hiburan" bagi tentara yang memegang senjata.

  • Kuasa politik dan militer, perempuan kala itu tidak hanya menjadi korban perang, tetapi juga korban dari aliansi antara kekuasaan militer dan elite politik yang mengatur siapa boleh memiliki siapa.

  • Pelembagaan kekerasan, eksploitasi dilakukan secara formal (bordil militer, perbudakan seks), didukung oleh sistem yang membuat perempuan tidak punya pilihan selain tunduk.

Memasuki abad ke-21, bentuk kekuasaan berubah, tetapi prinsip kontrol atas tubuh perempuan tetap ada, hanya lebih tersembunyi dan menyebar.

  • Pasar tubuh ideal, media sosial menciptakan standar kecantikan global yang nyaris mustahil dicapai. Influencer dan pekerja di industri hiburan digital hidup di bawah tekanan algoritma, tubuh yang "ideal" berarti engagement tinggi, sedangkan tubuh yang keluar dari standar dianggap kurang layak dijual.

  • Gig economy berbasis penampilan, pekerjaan seperti model lepas, brand ambassador, hingga live streamer sering mengandalkan visual tubuh untuk mendapatkan penghasilan.

  • Kekerasan digital, fenomena seperti revenge porn, deepfake porn, atau penyebaran foto tanpa izin adalah bentuk eksploitasi baru pada perempuan. Bedanya dengan masa Dewi Ayu, pelaku kini bisa anonim tersembunyi di balik layar, tetapi dampaknya tetap menghancurkan kehidupan di kehidupan nyata.

Resistensi perempuan dari strategi bertahan hingga perjuangan kolektif

Dalam Cantik Itu Luka, Dewi Ayu bukan sekadar korban pasif. Meski awalnya ia terjebak dalam lingkaran kekerasan dan eksploitasi, ia mengembangkan cara bertahan hidup yang cerdik.

  • Mengubah kecantikan menjadi senjata, alih-alih hanya menerima kecantikan sebagai objek tatapan, Dewi Ayu menggunakannya sebagai modal untuk mengamankan posisinya, memengaruhi orang-orang di sekitarnya, bahkan menegosiasikan keselamatan dirinya.

  • Menciptakan kuasa dalam ruang terkecil, ia memanfaatkan relasi dengan pria berkuasa untuk mendapatkan perlindungan atau keuntungan yang memungkinkannya bertahan dalam situasi penuh kekerasan.

  • Perlawanan diam-diam, meski tidak selalu eksplisit, sikapnya yang sinis, kemampuannya mengendalikan narasi tentang dirinya, dan keputusannya menamai anaknya "Si Cantik" adalah bentuk pembalikan makna terhadap standar kecantikan itu sendiri.

Di abad ke-21, bentuk resistensi perempuan berkembang menjadi gerakan kolektif yang lebih lantang.

  • Gerakan feminis lintas generasi, dari organisasi perempuan akar rumput hingga kolektif digital, gerakan ini menantang kebijakan diskriminatif seperti pernikahan anak, pembatasan hak reproduksi, dan kriminalisasi aborsi.

  • Kampanye digital seperti #MeToo, memberi ruang bagi perempuan untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual tanpa harus tunduk pada mekanisme hukum yang sering memihak pelaku. di Indonesia, gerakan ini memicu diskusi publik dan mendorong lahirnya UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

  • Advokasi hak reproduksi, aktivis mendorong akses kontrasepsi yang adil, pendidikan seks komprehensif, dan perlindungan dari kekerasan berbasis gender online.

  • Reklamasi citra tubuh, melalui seni, fotografi, dan media sosial, perempuan mendefinisikan kembali makna tubuh mereka dari objek tatapan sebagai simbol identitas, keberagaman, dan kebebasan berekspresi.

Cantik Itu Luka mengajarkan bahwa tubuh perempuan selalu berada di persimpangan antara kekuasaan dan kebebasan. Perubahan zaman tidak serta-merta menghapus politik tubuh, hanya memindahkan medan pertarungannya. Dari rumah bordil di masa pendudukan Jepang hingga timeline media sosial di era digital.

Tubuh perempuan tetap menjadi panggung dan sering kali pertunjukannya bukan dipilih oleh mereka sendiri. Kesadaran akan hal ini penting, bukan hanya untuk memahami sejarah, tetapi juga untuk membentuk masa depan di mana tubuh perempuan sepenuhnya menjadi milik mereka, bukan alat kekuasaan pihak lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team