Amerika Serikat (AS) menetapkan Israel sebagai Major non NATO ally atau 'Sekutu Besar Bukan Nato' bersama Korea Selatan, Jepang, Mesir, dan Australia, pada tahun 1988. Maka tak heran, jika AS habis-habisan memberikan dukungan terhadap Israel dalam serangan pasca peristiwa 7 Oktober 2023 di Jalur Gaza. Walaupun dukungan tersebut ditentang keras oleh rakyat Amerika dan belakangan juga ditolak oleh sebagian anggota Kongres, dukungan diplomatik, militer, dan ekonomi justru semakin masif diberikan oleh pemerintah AS kepada Israel.
Washington memberikan perlindungan diplomatik kepada Israel, salah satunya lewat penggunaan hak veto terhadap resolusi Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan gencatan senjata di Jalur Gaza. Tuntutan tersebut ditolak oleh Robert Wood, perwakilan AS untuk PBB, dengan alasan gencatan senjata akan memperluas aksi teroris Hamas di Gaza. Dukungan diplomatik ini bukan pertama kalinya. AS telah menggunakan hak veto terhadap puluhan resolusi DK PBB yang kritis kepada Israel sejak 1972. Alih-alih mencegah semakin tingginya korban sipil di Gaza, AS justru memimpin resolusi DK PBB dengan nomor 2722 untuk menuntut Angkatan Bersenjata Yaman, Houthi, menghentikan serangan mereka di Laut Merah. Kepentingan ekonomi sekutu AS lebih penting daripada nyawa manusia di Jalur Gaza.
Israel adalah negara dengan penerima bantuan militer terbesar dari AS. Selain akses ke persenjataan unggulan, AS juga memberikan keleluasan akses terhadap lembaga intelijen. Konsensus bantuan keamanan ini semakin dipertinggi sejak tahun 1980-an saat kepemimpinan Ronald Reagan. Pembiayaan militer AS mencakup 16 persen dari anggaran pertahanan militer Israel.
Dilansir dari New York Times pada Oktober 2023, AS telah memasok stok senjata berupa peluru artileri 155mm yang dapat membunuh dalam radius 100 hingga 300 meter di enam titik wilayah Israel, dan bantuan amunisi senilai sekitar 2 miliar dolar AS. Media Time pada November 2023 merilism bahwa dalam operasi militer Israel di Jalur Gaza, AS telah mengirim rudal pertahanan udara Iron Dome, bom berdiameter kecil dan 1800 kit Joint Direct Attack Munition (JDAM), jet tempur F-35, helikopter angkat berat CH-53, dan tanker pengisian bahan bakar udara KC-46. Menurut Laporan Handicap International yang diterbitkan pada 6 Desember 2023, terdapat lebih dari 12.000 bom, mulai dari 150kg-1000kg, yang dijatuhkan ke pemukiman padat penduduk di Jalur Gaza oleh Israel.
AS memiliki sebutan 'Sang Dermawan Besar' bagi Israel. Negara tersebut dapat menerima bantuan ekonomi AS dengan dan/atau tanpa syarat. Dalam catatan USNews Oktober 10 2023, Pascaperang Dunia II, bantuan ekonomi dan militer AS terhadap Israel mencapai 260 miliar dolar AS. Dari tahun 2003-2020, Israel berada di peringkat ketiga penerima dana bantuan AS setelah Irak dan Afghanistan.The Conversation pada Oktober 2023, menyebut hanya dalam satu minggu, filantropi Yahudi di AS dapat mengumpulkan dana hingga 10 juta dollar AS pasca serangan 7 Oktober untuk membantu Israel. Time pada November 2023 juga melaporkan, bahwa pemerintahan Joe Biden telah meminta dana tambahan 14,3 miliar dolar AS kepada Kongres. Dikutip dari APNews bulan November 2023, permintaan Biden disetujui oleh Kongres melalui penerbitan Undang-Undang Alokasi Tambahan Keamanan Israel. Komitmen pemberian dana darurat tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa Israel butuh bantuan untuk 'mempertahankan diri' dari serangan Hamas.
Dukungan ini menganulir pada satu pertanyaan mendasar, apa alasan AS memberikan dukungan yang terbilang 'istimewa' terhadap Israel walaupun berisiko merusak politik dalam negeri dan memperburuk posisi AS di kancah internasional?
"Kalau Amerika Serikat harus memilih memihak kemana berdasarkan alasan moral semata, negara itu harus berpihak kepada bangsa Palestina, bukan kepada Israel," tulis John J Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam bukunya yang berjudul Dahsyatnya Lobi Israel. Buku ini menganalisis bagaimana kelompok pro Israel di AS menciptakan kekacauan di Timur Tengah, merusak Israel itu sendiri, dan mengancam perdamaian dunia. Walaupun diterbitkan pada tahun 2007 silam, tulisan Mearsheimer dan Walt tersebut sangat layak untuk dibaca hari ini agar bisa menyikapi kolonialisme Israel di Palestina dengan bijak. Bahwa siapa pun yang menolak pendudukan Israel di Palestina bukan semata-mata perihal sikap anti-semit. Namun lebih daripada itu, pendudukan ilegal dan serangan Israel terhadap Bangsa Palestina adalah bentuk genosida modern dan perampasan kemerdekaan suatu bangsa yang telah berlangsung hampir satu abad lamanya.