Aku seorang istri, seorang ibu, seorang perempuan yang mendambakan rumah tangga yang sehat. Ini pernikahanku yang kedua. Pernah berumah tangga dengan orang yang salah, membuatku tidak ingin pasangan dengan karakter yang sama. Dulu aku pikir berumah tangga dengan orang yang beda karakter dan yang kita cintai akan membuat kita bahagia, lebih mudah untuk menyelesaikan konflik di dalamnya. Tapi ternyata aku salah, yang terjadi sekarang lebih mengerikan dari yang pertama.
Saat pertama mengenalnya, aku penasaran. Dia berbeda, diam, sulit ditebak, penuh misteri. Kadang hangat dan romantis, kadang dingin. Aku berpikir mungkin cintaku bisa menaklukkannya. Tapi ternyata rasa penasaranku sendiri yang membuatku terjebak.
Dia tak pernah benar-benar hadir. Aku yang selalu minta maaf, aku yang harus mengerti, aku yang harus sabar. Jika aku marah, aku disebut berlebihan. Jika aku sedih, aku dianggap drama. Lama-lama aku mulai mempertanyakan diriku sendiri.
"Apakah aku terlalu sensitif?"
"Apakah aku terlalu posesif?"
"Apakah aku terlalu berlebihan?"
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mencari bantuan profesional karena aku merasa sudah hampir gila. Aku divonis menderita depresi level sedang dan diresepkan obat antidepresan. Reaksi dia saat kuberi tahu di luar dari dugaanku. Ternyata dia menjadi lebih baik, perhatian, dan menunjukkan rasa peduli. Kami berdiskusi, kemudian dia memutuskan untuk konsultasi ke psikolog karena dia merasakan ada depresi juga di dalam dirinya.
Setelah dia selesai konsultasi dan melakukan beberapa tes, dia dilarang untuk memberi tahu ke pasangannya. Tapi rasa penasaranku lagi-lagi yang menguasaiku. Sampailah pada penemuanku tentang hasilnya yang mengejutkanku dan membuat duniaku berguncang seketika. Dari hasil tersebutlah yang memvalidasi dan menjelaskan kenapa dia berbeda dari laki-laki yang banyak kutemui sebelum menikah dengan dirinya.
"Sikapnya yang beda karena dia NPD."
"Sikapnya yang kadang hangat dan romantis ternyata adalah salah satu dari pola NPD."
"Sikapnya yang sulit ditebak karena dia bipolar."
Aku sadar, saat aku mencari tahu tentang Narcisstic Personality Disorder (NPD) ternyata selama ini aku sedang dimanipulasi secara perlahan, tanpa suara. Tanpa tamparan tapi sakit sampai ke pikiran dan harga diriku.
Semua sikapnya ternyata punya nama. Love bombing, silent treatment, gaslighting. Hidupku terasa di ujung jurang. Bingung dengan situasi dan realitas yang kuhadapi. Aku mencintainya.
Sejenak aku berpikir untuk menyelamatkan pernikahan ini. Karena aku tidak mau gagal lagi untuk yang kedua kalinya, dan membuat anak-anakku kehilangan ayah mereka lagi. Tapi lama-lama aku sadar, yang harus aku selamatkan adalah diriku sendiri, dan yang harus aku cintai adalah diriku sendiri.
Aku belum pergi. Aku butuh strategi untuk menghadapi pernikahan yang setiap harinya seperti di medan perang. Memakai rompi antipeluru agar pelurunya tidak tembus ke tubuh tapi masih terasa sakitnya. Aku tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan karena dia menyuruhku resign dari pekerjaan dan karierku yang bagus.
Aku tidak mempunyai akses keuangannya. Aku tidak mempunyai tabungan karena dia tidak pernah mau transparan soal keuangan, bahkan dia pernah berbohong soal gajinya. Dia hanya memberikanku kebutuhan rumah dan keluarga saja. Dia tidak mau tahu, apakah nafkah yang dia berikan cukup atau kurang. Jika kurang, aku yang berutang pada teman-temanku tanpa sepengetahuan dia. Aku tak lagi berharap seperti dulu. Aku bertahan bukan karena untuknya, tapi untukku. Untuk anak-anakku. Untuk diriku yang masih ingin hidup, bukan sekadar ada.
Kalau kamu juga sedang merasa bingung, lelah, tapi takut meninggalkan semuanya, aku ingin kamu tahu, kamu tidak sendiri, dan kamu tidak gila. Kamu sedang terluka.