Setelah tubuh kami dijarah,
dan suara kami disenyapkan,
kami memasuki barisan ini,
karena kami tidak sanggup tinggal diam!
Satu bait ini merupakan nukilan puisi “Kami tidak tinggal diam!” karya sastrawati asal Bali, Pranita Dewi. Karya ini dibacakannya sendiri saat bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, mengampanyekan “Akhiri Kekerasan Jurnalis Perempuan!”, memperingati 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali Badjra Sandi, Kota Denpasar, pada Minggu, 22 Desember 2024.
Dan sepertinya kampanye ini perlu diserukan kembali. Kami tidak tinggal diam!
Karena belum sampai 60 hari peringatan 16HAKTP ini berlalu, pada 11 Februari 2025, jurnalis perempuan Inside Lombok, mengalami persekusi dari AG, pegawai pengembang Meka Asia, di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia yang tengah hamil muda, mendapat kekerasan saat menjalankan kerja jurnlistik. Akibat kejadian itu ia mengalami tekanan mental dan membutuhkan pemulihan serius.
Ia mendapatkan kekerasan fisik. Mendapatkan intimidasi. Mendapatkan kata-kata kasar.
Apa pun alasannya, kekerasan ini tidak bisa dibenarkan! Proses hukum harus ditegakkan. Itulah kecaman Ketua AJI Mataram M Kasim, yang didukung oleh sejumlah organisasi jurnalistik lainnya seperti IJTI, PWI, serta jaringan organisasi payung AJI seluruh Indonesia, untuk kasus jurnalis perempuan dari Inside Lombok. Pelaku harus diproses hukum.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 mengenai Pers, tercantum tegas di Pasal 18 bahwa siapa pun yang melakukan upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik, apalagi berujung kekerasan fisik, maka pelaku diancam pidana dua tahun penjara dan denda Rp500 juta. Masih di UU yang sama, Pasal 2 dan 3, mengenai hak dan tanggung jawab media.
“Jurnalis mempunyai hak mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi,” tegas Kasim.
Kejadian itu diduga PT Meka Asia, tidak terima dengan video dari warga yang mengeluhkan soal banjir, dan keluhan ini diunggah di akun Instagram Inside Lombok. Jika memang itu pemicunya, redaksi Inside Lombok siap menerima hak jawab dari pengembang untuk ruang klarifikasi, dan itu sesuai pula dengan UU Pers. Bukan malahan mencederai jurnalis yang tengah bekerja.
Lagi-lagi, ini melukai ranah kerja jurnalis dan harus dituntaskan dengan jalur hukum!