5 Alasan Caleg Eks Koruptor Bisa Maju Lagi di Pemilu

Sekarang, masyarakat wajib bijak melihat rekam jejaknya

Jakarta, IDN Times - Pemilu tahun 2014 lalu, ada lima caleg yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pernah terlibat kasus korupsi. Mereka adalah Jero Wacik, Marten Apuy, Herdian Koosnadi, Idham Samawi, dan Iqbal Wibisono. Namun pelantikan kelimanya dibatalkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Oktober 2014.

Sementara pada Pemilu 2019, tidak ada caleg yang berlatar belakang koruptor dalam daftar yang dirilis oleh KPU. Namun sebagian dari mereka ada yang pernah dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus korupsi, termasuk Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo.

Mengapa politikus yang terlibat dalam kasus korupsi masih tetap terpilih sebagai anggota legislatif? Menurut Direktur Eksekutif lembaga survei Charta Politika, Yunarto Wijaya, hal tersebut kompleks. Partai politik dan masyarakat ialah dua pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kenyataan itu.

"Lingkaran setannya tidak pernah selesai, seolah-olah ada problem apa sih di dalam partai?," tanya Yunarto dalam acara peluncuran platform rekamjejak.net di area Jakarta Selatan pada Minggu (24/2) lalu.

Dalam penilaiannya, ada lima hal yang menyebabkan caleg bermasalah bisa dipilih kembali dalam pesta demokrasi yang berlangsung setiap lima tahun sekali itu. Apa saja itu?

1. Kaderisasi di partai yang berjalan secara buruk

5 Alasan Caleg Eks Koruptor Bisa Maju Lagi di PemiluANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Menurut Yunarto, kaderisasi di partai jelas buruk. Sistem pemberian reward dan punishment sama sekali tidak berjalan.  Buruknya manajemen partai bisa terlihat dari kasus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PPP yang mengaku kecolongan saat tahu calegnya untuk DPRD Kabupaten/Kota merupakan residivis kasus korupsi. 

"Hal ini kan menunjukkan betapa buruknya KPI (Key performance index) manajemen pengawasan partai," ujar Yunarto.

2. Sistem pemilu proporsional terbuka memaksa partai asal rekrut caleg

5 Alasan Caleg Eks Koruptor Bisa Maju Lagi di PemiluANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Faktor kedua yaitu sistem pemilu yang menerapkan proporsional terbuka memaksa parpol akhirnya asal-asalan merekrut caleg. Sistem proporsional terbuka memungkinkan publik menentukan urutan calon partai yang akan dipilih.

Sistem tersebut berbeda dengan proporsional tertutup, di mana hanya anggota partai yang aktif, pejabat partai, dan konsultan yang memiliki peranan untuk menentukan urutan calon.

Menurut Yunarto, dengan sistem proporsional terbuka, parpol berpikir secara pragmatis. Mereka hanya bersedia meminang calon yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi.

"Mau tidak mau, mereka akan membicarakan siapa yang kuat dan di hasil survei, elektabilitasnya tinggi," ujar pria yang akrab disapa Toto tersebut.

Ia menemukan fakta ada partai yang namanya naik hanya karena mereka sengaja membajak caleg tertentu.

"Parpol mengetahui caleg itu memiliki massa sehingga bisa mengerek nama parpol. Apabila si caleg ini tidak punya uang, maka akan diberikan oleh partai," tutur dia.

Atau sebaliknya, parpol sengaja membajak calon dengan iming-iming, parpol mereka lebih baik dibandingkan partai tempat caleg itu dulu bernaung.  "Parpol itu tahu kalau si caleg ini memang berduit," tambahnya.

3. Kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang mengutamakan caleg yang dermawan ketimbang antikorupsi

5 Alasan Caleg Eks Koruptor Bisa Maju Lagi di Pemilu(Ilustrasi pemberian uang suap) IDN Times/Sukma Shakti

Hal lain yang disoroti oleh Yunarto yakni masyarakat Indonesia cenderung mudah dipengaruhi oleh politik uang. Bahkan rekam jejak caleg yang pernah berbuat korupsi tetap tidak jadi masalah, selama mereka diberikan sesuatu oleh si calon anggota legislatif tersebut.

"Kita semua tahu melalui berbagai survei, kinerja DPR itu selalu ada di jajaran terburuk dibandingkan institusi lain. Apabila diumpamakan memilih caleg yang akan duduk di DPR itu sama seperti berinvestasi, maka para caleg itu bukan lah investasi yang menguntungkan," ujarnya.

Mengapa? Karena ketika berkampanye, kata Toto, para caleg menjanjikan akan mengembalikan tujuh persen kepada publik. "Tapi, kenyataannya, satu persen tidak dipenuhi. Publik akhirnya berpikir toh siapa saja yang terpilih sebagai anggota DPR maka kinerjanya akan sama saja."

Tetapi uniknya, menurut Toto, ketika masa kampanye, caleg semacam itu berani memberikan sesuatu seolah-olah sebagai bentuk jaminan aspirasi para pemilih akan didengar.

"Oleh sebab itu, para calon pemilih condong akan memilih caleg yang sudah memberikan lebih dulu di depan. Tidak menunggu ketika mereka sudah duduk di DPR. Akhirnya, masyarakat tidak peduli walaupun si caleg punya rekam jejak koruptor atau bermain uang," katanya lagi.

4. Publik masih menganggap korupsi terbatas pada kasus yang ditangani oleh KPK

5 Alasan Caleg Eks Koruptor Bisa Maju Lagi di Pemilu(Aksi Pegawai KPK) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Faktor lain mengapa publik cenderung masih memilih caleg yang pernah berbuat korupsi, karena mereka masih berpikir rasuah hanya terbatas pada kasus-kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal korupsi itu bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti mengurus surat izin mengemudi (SIM) atau perpanjangannya tidak dengan menyuap petugas polisi.

"Atau kalau ditilang di jalan, pasti lebih memilih untuk membayar uang damai dibandingkan sidang. Hal-hal semacam itu tidak diartikan korupsi dan bahkan dinilai tradisi," kata Yunarto.

Apabila perbuatan semacam itu, ia melanjutkan dianggap sebagai perbuatan permisif dan dianggap wajar, maka Yunarto ragu masyarakat nantinya mampu menolak pemberian uang.

5. Masyarakat cenderung memilih caleg yang religius ketimbang antikorupsi

5 Alasan Caleg Eks Koruptor Bisa Maju Lagi di PemiluAntara Foto/Reno Esnir

Faktor lainnya yaitu mengenai aspek moral dan religiusitas. Yunarto menilai pembentukan opini soal siapa caleg yang lebih religius kini semakin didengungkan.

Kata Yunarto, kenyataannya masyarakat cenderung lebih memilih caleg yang dermawan dan religius ketimbang yang memegang teguh program pemberantasan korupsi.

"Jadi, kalau ada caleg yang walau sering dipanggil ke KPK tapi dia tetap menyumbang, maka dia dianggap tetap lebih religius dan aspek religiusitasnya itu dibenarkan," ungkapnya.

Ia berharap di sisa beberapa hari lagi menjelang pemilu ini masyarakat bisa lebih cerdas. Ia meminta agar calon pemilih tidak malas membaca dan mencari tahu rekam jejak caleg.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya