AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy Winata

"Ada uang rakyat yang dipakai untuk memperingati hari jadi"

Surabaya, IDN Times - Ruangan itu tidak seberapa besar. Hanya terlihat beberapa kursi dan tikar yang disediakan panitia. Tidak ada layar untuk memproyeksikan presentasi, hanya tembok putih.

Para pembicara memakai sandal jepit. Bahkan ada yang nyeker atau tanpa alas kaki sama sekali. Namun ambisi mereka melampaui ruangan itu. Mereka adalah para anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Acara di C2O Library pada Jumat sore (8/2) lalu itu dipakai sebagai representasi perlawanan terhadap rangkaian Hari Pers Nasional 2019 (HPN) yang sedang dirayakan di sebuah hotel mewah, hanya beberapa kilometer dari tempat mereka berada.

Lalu, apa pandangan mereka soal HPN?

1. AJI: PWI tidak memberikan perlindungan kepada wartawan

AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy WinataIDN Times/Rosa Folia

Pengurus HPN yang jatuh pada tanggal 9 Februari adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam diskusi bertajuk 'Menggugat Hari Pers Nasional', mantan Ketua AJI Eko Maryadi berkata melalui sambungan telepon bahwa organisasinya adalah antitesis dari PWI. Menurutnya, PWI justru "tidak memberikan perlindungan" kepada wartawan dalam menjalankan fungsi-fungsi kerja mereka.

"AJI kan lahir dari pemberedelan tiga media pada 21 Juni 1994. Tiga media itu adalah Detik, Tempo dan Editor. Saat itu malah sikap PWI tidak memberikan perlindungan kepada mereka. Padahal, sebagian pendiri AJI adalah anggota PWI," ucapnya.

"Waktu itu PWI berkata bisa memahami kenapa pemerintah memberedel tiga media ini."

2. Bagi AJI, kedekatan PWI dengan kekuasaan tidak patut dirayakan karena pers seharusnya independen

AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy WinataIDN Times/Rosa Folia

Eko, wartawan yang dipenjara tiga tahun saat era Orde Baru karena dianggap melawan kekuasaan, sangat kecewa dengan sikap PWI. "Kalau mengklaim sebagai satu-satunya organisasi wartawan, ya harusnya membela. Tapi mereka tidak pernah mengkritisi (Orde Baru), apalagi melakukan perlawanan," tambahnya.

Kekecewaan lain yang mendarah daging adalah pemilihan hari untuk memperingati momen istimewa bagi pekerja media.

"Bagaimana organisasi wartawan yang selalu jadi underbone pemerintah sampai sekarang membuat HPN dari hari kelahiran organisasinya?" tambah Eko.

"PWI sudah 33 tahun dapat privilege sebagai organisasi wartawan yang difasilitasi pemerintah. Ini sikap yang tak patut."

3. Penggunaan APBN atau APBD untuk "hari raya wartawan" dianggap tidak tepat

AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy WinataIDN Times/Rosa Folia

Anggota AJI lainnya, Sasmito, menunjukkan apa yang dimaksud dengan kedekatan antara PWI dan pemerintah.

"Ada uang rakyat yang dipakai untuk memperingati hari jadi. Kalau kami maunya kalau merayakan, ya pakai uang sendiri," kata dia.

Sasmito menyinggung HPN 2018 di Padang yang ia sebut menghabiskan dana sekitar Rp25 miliar. "Biasanya mereka ambil dari APBN atau APBD," tambahnya.

Dalam kesempatan terpisah, Sasmito mengatakan kepada IDN Times, bahwa ia belum tahu berapa anggaran HPN 2019. Sementara itu, Miftah Faridl selaku Ketua AJI Surabaya menantang penyelenggara supaya transparan.

"Buka dana daerah yang diberikan untuk PWI," ujarnya. IDN Times sendiri mencoba menghubungi Ketua PWI, Atal Depari, untuk mencari tahu.

Tapi sampai artikel ini terbit, pemimpin redaksi suarakarya.id itu belum memberikan respons.

4. Tema yang diusung HPN tidak pernah menyentuh masalah jurnalistik sesungguhnya

AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy WinataDok.IDN Times/Istimewa

Kritikan kepada HPN dan PWI pun semakin bertubi-tubi. Salah satunya soal tema acara yaitu Pers Menguatkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital. HPN sama sekali tak menyinggung kekerasan terhadap wartawan.

"Lebih urgent mana mencari keadilan untuk Prabangsa atau membangun ekonomi digital? Lebih urgent mana dibanding soal UU ITE yang memidanakan jurnalis?" kata Faridl.

Pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama, adik mantan Bupati Bangli Nengah Asnawa, sekaligus otak di balik penganiayaan dan pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa, memang jadi topik panas di kalangan anggota AJI.

"Sebagai jurnalis, saya kecewa. Saya gak pernah dengar HPN bicara tentang angka kekerasan terhadap jurnalis."

5. AJI khawatir kekerasan terhadap wartawan akan berlanjut

AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy WinataIDN Times/Rosa Folia

Untuk AJI, remisi Susrama semestinya jadi tamparan bagi wartawan. "Tapi, di mana Ketua PWI sekarang?" tanya Faridl. AJI pun menggelar protes pada hari terakhir HPN 2019 di Surabaya yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.

Intinya, AJI keberatan bila Susrama diberikan remisi hanya karena berkelakuan baik.

"Pemberian remisi sendiri perlu direvisi," ucap Sasmito. Ini diamini oleh Aribowo, dosen FISIP Universitas Airlangga. "Kasus Prabangsa ini kan simbol dari kalangan wartawan," tegasnya.

"Jangan pelaku kejahatan, hanya karena punya kapital, bisa mendapatkan remisi. Kalau dibiarkan, nanti wartawan akan jadi target terus."

Berdasarkan data yang dihimpun AJI, ada 64 kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2018. Satu kasus yang masih menjadi misteri adalah tewasnya reporter Muhammad Yusuf di penjara Kelas IIB, Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Yusuf jadi tersangka atas laporan pencemaran nama baik terhadap perusahaan tambang PT Multi Sarana Agro Mandiri.

6. Sikap Dewan Pers terkait Prabangsa membuat AJI heran

AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy WinataANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menulis pembelaan terhadap pemberian remisi kepada Susrama di situs hukumonline.com.

Ia menilai remisi "adalah hak yang melekat pada setiap narapidana apapun kejahatannya". Laki-laki yang akrab disapa Stanley itu bahkan menilai wartawan yang menolak remisi telah "membabi buta".

"Wartawan seringkali tidak paham soal ini, khusus untuk pembunuh wartawan harus didiskriminasi," tulisnya. "Narapidana diberi harapan berhak mendapat remisi karena berkelakuan baik."

Sasmito sedikit tertawa mendengar ini. "Saya tidak tahu kenapa Mas Stanley mengatakan itu," ujarnya. Ia menilai Prabangsa adalah "pejuang HAM, sama seperti Novel sebagai pejuang anti-korupsi" yang kasusnya mengusik rasa keadilan publik, tak terkecuali wartawan.

"Salah satu tolok ukur pemberian remisi kan berkelakuan baik. Tapi, berkelakuan baik seperti apa yang berhak atau layak mendapatkan remisi?" kata dia.

"Ketika pemerintah memberi remisi itu perlu alasan kuat dan masuk akal."

Desakan AJI setelah bertemu Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS), Sri Puguh Budi Utami, membuahkan titik terang. Presiden Joko Widodo menginformasikan telah menandatangani pencabutan remisi kepada Susrama.

Keterangan ini ia sampaikan pada puncak peringatan HPN di Grand City Convention pada Jumat (9/2) siang.

7. Persoalan riil yang dihadapi wartawan harus jadi pokok bahasan

AJI: Aura HPN Lebih Banyak Acara Pemerintahan, Undang Tomy WinataANTARA FOTO/Umarul Faruq

AJI sendiri menilai jika punya hari pers, seharusnya para pelaku industri media merasa dirangkul. "Kita tidak ingin mengadili PWI. Tapi yang kita tawarkan sebenarnya bagaimana HPN ini bisa dirasakan oleh semua teman-teman pers, tidak hanya PWI," ujar Sasmito. Hal senada diucapkan oleh Faridl yang melihat HPN selama ini jauh dari ideal.

"Aura HPN lebih banyak (Didominasi) acara pemerintahan. Gambarnya Pakde Karwo, Gus Ipul. Kemudian diskusi soal industri sawit, bahkan mengundang Tomy Winata," ucapnya dengan nada kesal.

Bos Artha Graha Group yang bergerak di bidang perbankan dan properti itu sendiri menggelar acara bertemu para pemimpin redaksi di Hotel Wyndham pada Jumat malam.

Walau berbeda secara fundamental, AJI mengaku masih ingin berdialog dengan PWI. "Kita dari AJI menghormati PWI sebagai mitra, sebagai konstituen Dewan Pers," tegas Sasmito. Hanya saja, rasa keberatan masih terdengar dari Faridl.

"Saya tidak rela hari pers--hari profesi saya--dirayakan oleh orang yang melakukan pemberedelan. Saya tidak rela hari raya saya ditentukan oleh simbol kekerasan terhadap pers," ungkapnya.

Baca Juga: Remisi Susrama Dicabut, SJB Tuntut Jokowi Tuntaskan Kasus yang Lain

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya