Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim Hujan

Persoalan serupa seakan terus berulang dan tak pernah tuntas

Denpasar, IDN Times - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) belum lama ini mewanti-wanti Bali, khususnya bagian tengah dan selatan karena diprediksi berpotensi mengalami curah hujan tinggi. Puncaknya terjadi pada Desember hingga Januari mendatang. Sejak awal Desember sampai Minggu (20/12/2020), Bali masih terus diguyur hujan deras.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam sebuah pertemuan di Denpasar mengungkapkan bahwa pada musim hujan kali ini, curah hujan meningkat hampir 50 persen. Menurutnya hal ini karena pengaruh La Nina serta fenomena Madden Julian Oscilation atau MJO (pergerakan udara basah) yang melewati Bali.

Mengingat adanya potensi curah hujan yang tinggi, masyarakat dan pemangku kepentingan di Bali diminta tetap waspada akan kemungkinan terjadinya bencana seperti tanah longsor, banjir bandang, dan lainnya.

"Kawasan tengah dan selatan Bali yang diperkirakan paling berpotensi mengalami (curah hujan tinggi) dan nyaris merata," ucapnya.

Sementara itu Kepala Bidang Data dan Informasi BBMKG Wilayah III Denpasar, Iman Fatchurochman menyampaikan bahwa dari hasil monitoring, 50 persen wilayah Provinsi Bali telah memasuki musim hujan. Kecuali Bali bagian utara dan Nusa Penida yang malah belum memasuki musim hujan.

Menurutnya hingga akhir tahun 2020 ini, diprakirakan seluruh wilayah Bali akan memasuki musim hujan yang puncaknya diprediksi pada Januari 2021.

“Puncak musim hujan di bulan Januari. Mengapa? Karena ada kontribusi La Nina berdampak menambah curah hujan di wilayah Bali. Dengan jumlah curah hujan secara persentase tidak terlalu signifikan,” ungkapnya.

Dengan potensi curah hujan yang tinggi ini, masyarakat wajib waspada akan terjadinya banjir di kawasan-kawasan padat penduduk dan longsor di wilayah yang memiliki tingkat kemiringan yang curam seperti di Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Bagaimana masyarakat mengantisipati bencana lain yang mungkin akan terjadi dan apa saja yang telah dilakukan pemerintah? Apakah gagap, grasa-grusu baru bertindak hanya jika terjadi bencana dan mengorbankan masyarakat? Bagaimana pula dengan daerah lainnya di Indonesia? Berikut ulasan lengkapnya. 

1. Jumlah personel Tim Reaksi Cepat jauh dari ideal

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanIlustrasi Banjir (IDN Times/Mardya Shakti)

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, I Made Rentin mengungkapkan bahwa pihaknya sudah mendapatkan warning dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adanya cuaca ekstrem dan perkiraan hal-hal ikutan dari cuaca ekstrem tersebut.

“Perkiraan akan terjadi hal-hal ikutan dari cuaca ekstrem itu. Salah satunya musim hujan juga perlu diantisipasi. Tentu ikutannya adalah ia beranak-pinak, bersaudara, bermisan begitu. Kalau sudah musim hujan cuaca ekstrem angin puting beliung ikutannya. Petir juga menjadi ikutan, banjir tidak bisa dipisahkan tanah longsor juga ya. Pohon tumbang dan seterusnya-seterusnya,” jelasnya.

Menurutnya Provinsi Bali juga menghadapi potensi bencana di antaranya angin puting beliung, banjir dan banjir bandang, serta tanah longsor. Bencana banjir menimbulkan beberapa risiko di antaranya trauma psikis, korban jiwa, kerugian materiil, penyebaran bibit penyakit, dan lainnya.

“Potensi ancaman sekurang-kurangnya tiga. Angin puting beliung, kemudian banjir dan banjir bandang serta tanah longsor. Ikutan tadi itu menjadi bagian tidak terpisahkan yang kami sebutkan,” jelasnya.

Rentin juga memastikan kesiapan personel dan kesediaan logistik peralatan. Ia menyoroti kurangnya jumlah personel yang angkanya jauh dari kategori ideal. Seharusnya untuk Tim Reaksi Cepat (TRC), angka idealnya 90 orang (10 orang per kabupaten/kota). Namun saat ini justru hanya tersedia 30 orang. Begitu pula Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) yang bekerja 24 jam dalam tiga shift yakni sebanyak 96 orang.

Menanggapi potensi bencana ini, seorang warga Kecamatan Kuta Utara, Badung bernama Rai mengungkapkan bahwa ia melakukan antisipasi lebih awal dengan mempersiapkan alat-alat pelindung diri dari hujan seperti payung maupun jas hujan bila bepergian menggunakan sepeda motor. Di samping itu ia mencari informasi daerah-daerah yang mungkin perlu dihindari. 

“Yang paling utama bagaimana bisa tenang dan tidak cemas bilamana hujan intensitas tinggi itu datang. Serta mempersiapkan tempat tinggal untuk berteduh yang aman serta terhindar dari kebocoran maupun banjir. Terkait mengungsi atau tidak tergantung situasi bilamana diperlukan. Mudah-mudah tidak terjadi,” ungkapnya.

Ia menyarankan agar masyarakat selalu mendapatkan informasi yang benar dari pihak terkait.

Sementara warga Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Agung Ayu menjelaskan bahwa di desanya tidak pernah terjadi longsor karena memang posisinya tidak berada di bawah bukit. Kalaupun banjir, ketinggian airnya pun juga tidak terlalu tinggi.

“Persiapannya ya bersihin selokan atau tempat pembuangan biar gak mampet. Biar air hujan gak menggenang sampai tinggi. Sama kalau di kampung biasanya ada gotong royong bersih-bersih lingkungan. Tiap hari Minggu biasanya,” jelas Agung Ayu.

2. Hujan deras menyebabkan 469 KK di Pali Palembang terendam banjir

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanBanjir rendam rumah warga di Pali (IDN Times/BPBD Sumsel)

Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Penukal Adab Lematang Ilir (Pali) menyebabkan lima kelurahan mengalami banjir. Hujan deras tersebut diketahui berlangsung selama hampir 3,5 jam sehingga air yang berada di sungai meluap memasuki perkampungan warga.

Adapun lima kelurahan yang terendam banjir yakni kelurahan Talang Ubi Timur, Handayani Mulya, Talang Ubi Selatan, Talang Ubi Utara, dan Talang Ubi Barat.

"Air di permukaan sungai mulai meluap pagi tadi sekitar pukul 06.30 WIB. Ketinggian air di lima kelurahan itu rata-rata 30 sentimeter hingga mencapai 90 sentimeter," kata Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel, Ansori, Kamis (3/12/2020).

Ansori menuturkan banjir disebabkan karena Sungai Abab dan Sungai Beracung yang ada di Pali meluap. Akibatnya ada 469 Kepala Keluarga (KK) di sembilan RT yang terdampak dan rumah mereka terendam banjir. Pihak BPBD Pali segera melakukan evakuasi terhadap masyarakat rentan terutama orang tua dan bayi untuk dievakuasi ke tempat yang lebih aman.

"Untuk rumah rusak serta kerugian material sejauh ini masih dalam proses pendataan," ujar dia.

Selain itu, menurut Ansori, guna mengantisipasi adanya banjir susulan, pihaknya juga telah mendirikan posko siaga banjir di lokasi dengan peralatan satu unit perahu fiber untuk evakuasi apabila diperlukan.

"Kami mengimbau agar masyarakat tetap waspada adanya banjir susulan karena saat ini Sumsel telah memasuki musim penghujan," katanya.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala BPBD Pali, Junaidi Anuar mengatakan banjir akibat air sungai yang meluap perlahan telah surut. Saat ini pihaknya masih terus memantau di lokasi banjir sebagai upaya antisipasi karena di wilayah tersebut sudah sering terjadi banjir saat musim hujan tiba.

"Memang lokasinya rawan banjir setiap tahunnya. Tinggal satu wilayah lagi yang masih banjir sisanya sudah suruh memasuki sore," ujarnya. 

3. Pemerintah daerah di Tanggerang diminta lakukan audit tata ruang secara menyeluruh

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanBanjir Ciledug Indah, Kota Tangerang (IDN Times/Muhamad Iqbal)

Pengamat tata kota Nirwono Joga menilai upaya pencegahan bencana banjir kerap melanda tiga wilayah di Tangerang yakni, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Tiga pemerintah daerah tersebut harus melakukan audit tata ruang secara menyeluruh. Selain itu, tiga pemda diminta jujur mempublikasikan temuan-temuannya.

"Pemda Tangerang harus melakukan audit tata ruang secara menyeluruh dan publikasikan permukiman atau pengembang yang melanggar tata ruang," kata Nirwono kepada IDN Times, Minggu (20/12/2020).

Diketahui bahwa tiga daerah tersebut kini menjadi kawasan pemukiman penduduk terus berkembang. Pembangunan pemukiman baik dari perusahaan properti kecil hingga besar terus berlangsung.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti ini mengatakan hingga kini belum ada upaya kongkrit terhadap audit tata ruang, utamanya guna upaya pencegahan bencana banjir yang saban tahun terus menerus datang dengan volume yang semakin besar.

"Belum banyak upaya dalam penanganan banjir (di Tangerang)," kata Nirwono.

Menurutnya, ada lima upaya lain untuk pencegahan antisipasi bencana banjir. Pertama, pembenahan sungai. "Diperlebar dan diperdalam untuk memperbesar daya tampung air sungai," kata Nirwono.

Kedua, lanjutnya, situ, danau, embung dan waduk se-Tangerang mesti dioptimalkan fungsinya. "Dikeruk diperdalam dan diperlebar agar daya tampung air hujan lebih maksimal sekaligus sebagai cadangan air bersih di musim kemarau," kata Nirwono.

Ketiga, pemerintah daerah mesti merehabilitasi seluruh saluran air kota dari yang primer, sekunder, dan tersier. Saluran itu diperbesar diameternya. Selain itu, tempat itu juga harus bebas dari lumpur dan sampah serta dipisah dengan jaringan utilitas seperti jaringan kabel listrik, telepon, serat optik, pipa air bersih, pipa gas, dan pipa air limbah.

"Keempat, memperbanyak RTH (Ruang Terbuka Hijau) sebagai daerah resapan air alami sesuai UU 26 tahun 2007 Penataan Ruang sebesar 30 persen. Kelima menata ulang kawasan tepi pantai, dimana 500 meterke arah daratan bebas bangunan dan permukiman, dikembalikan menjadi RTH tepi pantai," kata Nirwono.

4. Forum Komunitas Sungai di Yogyakarta ambil langkah mitigasi dan edukasi

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanKomunitas Jogokali membersihkan bambu di Sungai Grojogan, Depok, Sleman, 25 Oktober 2020. Dokumen FKSS

Ketua Forum Komunitas Sungai Sleman (FKSS), Yogyakarta, AG Irawan menjelaskan secara teknis bahwa curah hujan yang meningkat akan memberi dampak peningkatan volume air sungai. Jika badan sungai penuh sampah dan benda-benda yang menghambat laju aliran, maka akan mengakibatkan sungai meluap. Imbasnya, luapan air sungai akan menggenangi bantaran dan permukiman warga pinggir sungai.

“Ada potensi banjir dan longsor. Terutama warga yang tinggal di permukiman pinggir kali harus meningkatkan kewaspadaan,” kata Irawan saat dihubungi IDN Times, Senin (26/10/2020).

Selain bersih-bersih sampah, tiap-tiap komunitas pegiat sungai juga melakukan edukasi tentang sungai dan mitigasi atau pengurangan risiko bencana terhadap warga yang bermukim di sekitar bantaran sungai. Hingga pertengahan Oktober 2020 ini, sudah ada 47 komunitas dari 16 sungai besar dan kecil di wilayah Kabupaten Sleman yang bergabung.

“Karena ada potensi dan bahaya bagi yang tinggal di pinggir sungai. Terlebih sungai-sungai yang berhulu di lereng Gunung Merapi,” papar Irawan.

Langkah antisipasi lainnya adalah mengajukan pemasangan alat deteksi peringatan dini (early warning system/EWS) kepada pemerintah daerah untuk dipasang di sejumlah titik sungai. Terutama sungai yang punya potensi dan riwayat banjir bandang. Seperti Kali Adem di Girikerto, Sungai Sempor, Sungai Pelang, Sungai Klanduhan, sungai Kuning, dan Sungai Tepus.

“Beberapa sudah dipasang, tetapi di lokasi yang berpotensi terkena banjir lahar dingin Merapi,” kata Irawan.

Sementara selain membersihkan sampah, Komunitas Sungai Pelang juga memberi edukasi warga sekitar untuk tidak membuang sampah ke sungai. Ketua Komunitas Kali Pelang, Samsudin menjelaskan bahwa sungai menjadi tempat berkumpulnya air dan sumber-sumber mata air di sekitar bantaran sungai. Air pun digunakan manusia untuk memenuhi keperluan sehari-hari.

“Tubuh manusia saja, sekitar 60 persen terdiri dari air. Kalau sumber air rusak atau mati, ya matilah kami," kata Samsudin.

Udin melihat sebagian warga telah mempunyai kesadaran untuk merawat sungai. Sementara orang-orang yang masih membuang sampah ke sungai, Udin berharap agar mereka segera menyadari keberadaan sungai yang sangat penting mendukung kehidupan manusia.

"Mari bersama-sama dipahamkan pentingnya sungai untuk kehidupan dan ajak mereka untuk merawat sungai, " imbuh dia. 

5. Peneliti di Sulawesi Selatan sebut carut marut penanganan karena rendahnya literasi kebencanaan

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanIlustrasi Daerah Rawan Longsor (IDN Times/Sukma Shakti)

Ketua Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas), Sulawesi Selatan Prof Adi Maulana menilai akar permasalahan utama dari carut marutnya penanganan bencana adalah rendahnya literasi kebencanaan

"Literasi kebencanaan rendah karena aspek kebencanaan itu tidak dijadikan sebagai salah satu parameter utama di dalam pembangunan," kata Adi kepada IDN Times, Sabtu (19/12/2020).

Menurutnya, rendahnya literasi kebencanaan menjadi sebuah kontradiksi. Sebab posisi Indonesia yang secara geologi terletak di pertemuan tiga lempeng dan di garis Khatulistiwa, membuat negara ini rentan terkena bencana alam.

Dengan berkaca pada kondisi itu, konsep pembangunan sejak dulu seharusnya memang menjadikan aspek kebencanaan sebagai salah satu parameter utama. 

"Itu bedanya kita dengan Jepang, kemudian dengan negara-negara yang memang secara natural menjadi negara yang sangat rentan terhadap bencana alam," jelasnya.

Adi mengatakan literasi kebencanaan rendah karena budaya masyarakat yang cenderung permisif terhadap sesuatu. Maksudnya, tidak ada persiapan untuk menghadapi bencana alam yang seperti kata pepatah 'sedia payung sebelum hujan'. Jika terjadi, maka terjadilah.
 
"Mental pasrah seperti itu yang mengatakan bahwa bencana alam adalah takdir yang kita harus menerima, itu sebenarnya secara tidak langsung juga mempengaruhi penanganan atau juga pengelolaan kebencanaan yang ada di Indonesia," kata Adi.

Rendahnya literasi kebencanaan ini, kata Adi, memang masih menjadi 'PR' besar. Makanya salah satu program yang paling utama beberapa ahli kebencanaan, terutama Pusat Studi Kebencanaan Unhas adalah bagaimana meningkatkan literasi kebencanaan. 

Hal inilah yang coba diupayakan di mana anak-anak SD sudah diperkenalkan mengenai kondisi negaranya. Misalnya, mereka diajarkan bahwa negara tempat mereka hidup memang subur tapi di saat yang sama juga merupakan negara yang rentang terhadap bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung api, dan sebagainya.  

"Banyak yang tidak tahu 60 persen wilayah Indonesia adalah wilayah dengan tingkat kerentanan sangat tinggi. Artinya, 140 juta orang tercancam di situ," katanya.

Kesadaran pemerintah baru muncul belakangan saat terjadi tsunami Aceh 2004 lalu. Pasalnya, peristiwa itu membuat pemerintah menerbitkan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebelum tsunami Aceh, Indonesia belum punya BNPB. 

"Seandainya mungkin tidak ada tsunami Aceh, sampai sekarang kita belum punya BNPB. Jadi, itu gambaran betapa sebenarnya literasi kita dalam konteks kebencanaan itu sangat rendah," katanya.

6. Penanganan bencana di Jawa Barat diingatkan jangan sampai tumpang tindih

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanKadus Pagersari (kiri) dan Babinsa Desa Tumanggal memeriksa rumah yang rusak akibat tanah gerak, Selasa (8/12/2020)./Foto: Rudal Afgani

Provinsi Jawa Barat juga termasuk menjadi salah satu daerah yang sangat rawan bencana akibat pergerakan tanah dan banjir bandang. Bahkan, hampir setiap kabupaten/kota di Jawa Barat (Jabar) memiliki potensi bencana tersebut.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah merilis peta kebencanaan yang mungkin terjadi di Jabar pada Desember 2020. Dalam kasus bencana pergerakan tanah, mayoritas berada dalam level menengah hingga tinggi.

"Daerah yang mempunyai potensi tinggi untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, sedangkan gerakan tanah lama dapat aktif kembali," tulis rilis tersebut dikutip IDN Times, Sabtu (19/12/2020).

Dari data tersebut, Kabupaten Garut memiliki kerawanan yang cukup membahayakan. Selain pergerakan tanah, di kabupaten ini ada 22 kecamatan yang masuk dalam kategori rawan banjir bandang.

Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum mengajak warga Jabar untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana hidrometeorologi seperti longsor, banjir, banjir bandang, angin kencang, hingga puting beliung yang dipicu fenomena La Nina. 

Kepada bupati/wali kota, Uu menginstruksikan agar selalu melaksanakan pemantauan terhadap situasi dan kondisi terkait kebencanaan serta memperkuat koordinasi kepada semua pihak terkait sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan bencana.

Mantan Bupati Tasikmalaya ini juga mengajak pemerintah daerah untuk memperhatikan kondisi rumah warga yang sudah tua, reyot, atau kurang layak huni yang rawan roboh ketika bencana terjadi. 

"Rumah-rumah yang rawan tolong diantisipasi. Beberapa kali bencana terjadi, kebanyakan rumah yang roboh yang sudah tua, bangunan lama, memang rawan," papar Uu.

7. Tujuh wilayah terdampak banjir dan rob di Ibu Kota Jawa Tengah

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanBanjir rob di Kota Semarang. Dok. BPBD Kota Semarang

Sepanjang musim hujan di bulan November dan Desember juga menyebabkan bencana banjir di Kota Semarang. Berdasarkan data dari BPBD Kota Semarang, ada sekitar tujuh wilayah yang terdampak banjir dan rob di Ibu Kota Jawa Tengah. 

Melansir data dari laman bpbd.semarangkota.go.id, pada bulan November 2020, hujan deras yang mengguyur Kota Semarang menyebabkan banjir di Desa Gabu RT 03 RW 03 Tambangan Mijen, Perum Jatisari RW 06 Mijen, dan Perumahan Delta Asri 2 RW 05 Cangkiran Mijen.

Pada Desa Gabu hujan dengan intensitas tinggi mengakibatkan anak sungai Kali Winong dan Kali Tegal meluap dan berdampak pada 15 rumah di pinggir tergenang air setinggi 1,5 meter. Kemudian, kejadian banjir di Perum Jatisari RW 06 Jatisari Mijen, karena drainase meluap dan menyebabkan genangan setinggi 1,5 meter di perumahan warga dengan korban 140 KK.

Sedangkan banjir di Perumahan Delta Asri 2 RW 05 Cangkiran Mijen akibat Sungai Dung Begal meluap dan menyebabkan talud sungai jebol sehingga terjadi genangan setinggi 1-1,5 meter di 4 RT dengan korban 143 KK.

Pada bulan Desember, banjir juga melanda di sejumlah wilayah di Kota Semarang di antaranya, di RT 01 RW V Kelurahan Mangkang Wetan, Tugu. Pada kejadian tersebut hujan deras menyebabkan aliran DAS sungai Beringin mengalami peningkatan dengan ketinggian air antara 60 sentimeter (cm) sampai 70 cm dan mengakibatkan tanggul sungai jebol.

Kemudian, banjir juga merendam wilayah RT 01 RW II, Kelurahan Mangkang Kulon, Tugu. Kronologi kejadian karena hujan deras di wilayah tersebut membuat aliran DAS Sungai Plumbon mengalami peningkatan ketinggian air antara 30 cm - 40 cm dan mengakibatkan tanggul sungai sepanjang 20 meter jebol.

Kejadian terakhir banjir rob terjadi di RT 01 RW XV, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara yang disebabkan gelombang pasang dan mengakibatkan tanggul penahan jebol, sehingga air menerjang rumah yang berdampak pada dinding rumah beberapa warga rusak.

Pakar Hidrologi dan Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro Semarang, Nelwan mengatakan, upaya Pemkot Semarang mengatasi banjir sejauh ini memang sudah maksimal seperti pengerukan dan pengurasan drainase hingga optimalisasi rumah pompa. Bahkan, dalam penanganan banjir di Kota Semarang untuk wilayah Semarang ke Timur seperti Kaligawe juga melibatkan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juwana.

‘’Cuma satu hal yang agak janggal adalah konsep penutupan muara sungai. Misalnya, di Kali Tenggang justru ditutup dan mengandalkan pompa. Padahal, semestinya kalau mau repot sedikit, lebih baik diatasi secara konvensional dengan memperbaiki muara sungai, kemudian dibiarkan air mengalir secara alamiah sehingga bermuara ke laut,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Sabtu (19/12/2020). 

Menurutnya mengandalkan rumah pompa seperti yang dilakukan Pemkot Semarang saat ini memang cepat untuk mengatasi banjir. Ketika hujan deras dan terjadi genangan, pompa bekerja untuk menyedot air dan genangan pun surut. Namun, semestinya hal ini agak menyimpang dari kaidah ilmu pengairan karena hubungan sungai dengan laut tidak bisa dipisahkan. Selain itu, saat muara sungai ditutup ini akan berdampak pada masalah sosial lainnya. 

Masalah sosial yang bisa terjadi dari penutupan muara sungai dan hanya mengandalkan rumah pompa antara lain biaya pengelolaan rumah pompa sangat besar karena memerlukan listrik dengan daya yang besar serta bahan bakar yang tidak sedikit ketika harus beroperasi. 

Nelwan menuturkan penanganan banjir lainnya juga bisa menggunakan sistem klep atau katup seperti pada zaman Belanda. Kinerja sistem klep ini saat hujan katup di muara-muara sungai akan membuka karena ada desakan air sungai yang akan terbuang ke laut. Pada waktu sebaliknya jika air laut pasang atau rob tinggi ini akan mendesak katup untuk menutup. 

‘’Namun, sesuai kebijakan BBWS akhirnya muara sungai ditutup dan mengganti dengan adanya tanggul,’’ imbuhnya. 

8. Warga Lamongan pilih bongkar dan pindah rumah

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanRumah warga Lamongan dibongkar karena khawatir terbawa arus sungai Bengawan Solo. IDN Times/Imron

Supriyadi (70), warga Desa Pesanggrahan, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan memilih untuk membongkar rumah yang sudah ia tempati selama puluhan tahun. Ia terpaksa melakukan itu karena khawatir rumahnya hanyut terbawa derasnya arus Sungai Bengawan Solo. Terlebih, bangunan itu sudah menjadi langganan banjir tiap tahun. 

Kondisi rumah Supriyadi yang terbuat dari kayu tersebut sendiri sangatlah memprihatinkan. Pasalnya, pondasi rumah miliknya, sudah dalam keadaan menggantung di bibir Sungai Bengawan Solo. Bisa saja tambah parah andai Sungai Bengawan Solo meluap dan arusnya semakin deras. 

"Terpaksa saya bongkar karena takut tiba-tiba rumah saya hanyut terbawa arus sungai," kata Supriyadi kepada IDN Times, di sela-sela membongkar rumahnya, Sabtu (19/12/2020).

Supriyadi mengaku bahwa rumahnya menjadi langganan banjir tiap tahun. Saat kondisi itu terjadi, ia dan keluarganya pun terpaksa mengungsi ke tanggul. Mereka biasanya mendirikan tenda dan tinggal berhari-hari di tenda pengungsian sampai air Sungai Bengawan Solo surut.

"Kalau berapa kali kebanjiran ya tidak bisa dihitung, banyak. Kalau di daerah ini kebanjiran ya pada mengungsi semua karena banjirnya hampir dua meter lebih," jelasnya. 

Tak hanya Supriyadi, banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo juga dirasakan Musti (51). Warga Pesanggrahan ini mengaku takut jika terjadi banjir dan berharap pemerintah Lamongan memperbaiki bantaran sungai yang terus mengalami longsor.

"Kalau banjir ya total tidak bisa apa-apa mas. Saya berharap sekali pemerintah bisa merelokasi semua warga yang tinggal di RT 05 dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 42," harapnya.

Sementara Kabag Protokol Komunikasi Pimpinan Lamongan Arif Bachtiar, saat dihubungi mengatakan, pemerintah Lamongan sudah berusaha mengantisipasi banjir yang setiap tahunnya terjadi seperti penyediaan pompa air di Kecamatan Babat, menambah pintu bendungan di Desa Pelang. 

"Upaya kita memang sudah maksimal karena memang sungai Bengawan Solo ini menghubungkan beberapa kabupaten. Paling tidak ada campur tangan pemerintah pusat dan tahun ini memang anggaran penanggulangan bencana ada tapi tidak sebesar tahun lalu karena berbarengan dengan pandemik COVID-19," pungkasnya.

9. Penanggulangan bencana di Lampung harus dialihkan untuk COVID-19

Indonesia Dikepung Banjir, Gagap Penanganan Bencana saat Musim HujanWarga Jalan Hi Syarif, Kelurahan Kali Balok Kencana, Kecamatan Kedamaian, Bandar Lampung membersihkan perabotan rumah akibat meluapnya Kali Balau, Rabu (5/8/2020)

Sementara di Lampung, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyatakan sudah melakukan koordinasi dengan BPBD di 15 kabupaten/kota menghadapi potensi bencana yang terjadi saat musim hujan. 

Antisipasi lain dilakukan adalah menjalin kerja sama dengan berbagai mitra seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi (BMKG) dan organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (Rapi) guna membantu melaporkan terjadinya bencana di pelosok daerah.

Sekretaris BPBD Provinsi Lampung, Indra Utama, menjelaskan kondisi pandemik pihaknya tetap melakukan apel atau koordinasi dengan BPBD 15 kabupaten/kota secara virtual. Koordinasi mulai dari memantau kelengkapan alat-alat di daerah yang rawan terjadi bencana.

Pantauan kelengkapan alat itu perlu dilakukan lantaran beberapa daerah di Lampung kerap terjadi bencana kala akhir tahun. Koordinasi antar BPBD juga intens dilakukan terkait evaluasi penanganan bencana sebelumnya. 

“Ya setiap persiapan pasti ada kekurangannya itulah yang kita evaluasi. Selain kita mempersiapkan, kita juga mengimbau kesiapsiagaan masyarakat. Artinya masyarakat sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika cuaca hujan yang sangat lebat dan berpotensi banjir. Masing-masing di daerah Lampung Barat, Tanggamus itu alat-alat mereka sudah pada siap,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Kamis (17/12/2020).

Selama pandemik, Indra menuturkan dana untuk penanggulangan bencana harus dialihkan untuk COVID-19. Alhasil dalam satu tahun ini tidak banyak pembenahan sungai yang ada di Provinsi Lampung.

“Kami ada dana hibah bencana dari Provinsi Lampung sekitar Rp115 miliar terakhir masuk di Lampung Tengah, itu yang berjalan untuk penanggulangan pasca bencana. Jadi perbaikan sungai, tapi itu gak bisa tuntas,” terangnya.

Selaan itu Indra mengatakan, BPBD juga sudah memetakan daerah yang rawan terkena bencana. Setiap daerah di Lampung memiliki potensi bencana yang berbeda.

“Potensi bencana ini tersebar di beberapa kabupaten. Khusus gempa sama tsunami ini dari mulai Pesisir Barat sampai selatan Kalianda sana. Kalau longsor sama banjir bandang rata-rata Pesisir Barat, Tanggamus, Pesawaran, Way Kanan,” jelasnya.

Sari (25), warga Jalan Hi Syarief RT 03 menerangkan daerah tempatnya tinggal dikenal langganan banjir saat hujan. Itu lantaran di bilangan Jalan Hi Syarief ada Kali Balau yang sudah sejak lama mengalami sedimentasi. Tak pelak kondisi ini saat durasi hujan setengah jam saja sudah tergenang.

"Tahun ini aja enam kali banjir kalau hujan. Warga sini sudah ngerti dan siap-siap misal air masuk (ke rumah). Harapannya memang sedimentasi kali ini ada penanganan serius biar gak kena banjir terus daerah sini," ujarnya.

Sawen (60) warga lainnya mengatakan, setiap terjadi banjir, rata-rata warga cepat memindahkan barang berharga seperti dokumen, perangkat elektronik, dan barang berharga lainnya. Ia tak menampik, genangan cepat surut dan warga bisa membersihkan perabotan rumah yang terkena air.

"Yang repot ini misal banjirnya malam atau dini hari. Posisi kita tidur, tiba-tiba air masuk ke rumah. Kalau ada rumah punya anak kecil kasihan. Kami juga berharap, setiap ada banjir, bantuan dari pemda kepada warga yang membutuhkan cepat tersalurkan," jelasnya.

Tim penulis: Ayu Afria Ulita Ermalia, Rangga Erfizal, Muhammad Iqbal, Pito Agustin Rudiana, Ashrawi Muin, Debbie Sutrisno, Anggun Puspitoningrum, Imron Saputra, dan Silviana.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya