[LIPSUS] Kami Diperdaya, Dilecehkan, dan Dipaksa Bungkam!
Kekerasan seksual terhadap anak-anak harus segera dihentikan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times - Pertengahan Oktober 2021. Senin sore itu laju kendaraan saya jauh lebih lambat dari hari-hari sebelumnya. Usai melakukan kerja jurnalistik bersama tim di Bali, pikiran tidak langsung tertuju pada jalan menuju rumah. Entah mengapa, para pengendara sepeda motor yang lalu-lalang sepanjang jalan utama di Kota Denpasar terlihat berbeda bagi saya saat itu. Begitu pula ketika melintasi Lapangan Puputan Badung dan melihat banyak orangtua menemani anak-anaknya bermain atau hanya sekadar jalan-jalan.
Lalu apa yang berbeda? Ya, menyaksikan mereka, seketika berulang muncul dalam pikiran saya bayangan wajah anak-anak yang diduga menjadi korban kekerasan seksual di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kasus itu ramai dibicarakan dan sampai sekarang masih menyisakan banyak tanya.
"Akankah anak-anak dengan senyum semringah yang saya lihat sore itu akan berujung seperti yang terjadi Luwu Timur? Akankah kejadian di Luwu Timur berulang dan terus berulang? Jangan-jangan masih banyak peristiwa serupa di Tanah Air, namun tak pernah terungkap atau sengaja dibungkam!"
Semua pertanyaan-pertanyaan ini terus mengganggu dan terngiang. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk melakukan penelusuran lebih jauh dan menggali akar persoalannya. Mengapa kekerasan seksual terhadap anak bisa dan masih terjadi?
IDN Times melakukan liputan khusus (Lipsus) di 11 Provinsi Indonesia, dari Aceh hingga Sulawesi Selatan. Apa yang kami temukan dan laporkan dalam tulisan kali ini memang tidak akan bisa selesai dibaca dalam waktu singkat. Seperti para korban kekerasan seksual ini yang harus menempuh jalan berliku untuk memperoleh keadilan.
Maret 2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerbitkan Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2020. Dalam laporan mereka, selama satu tahun terakhir, dari 6.480 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah personal, terdata ada 954 kasus Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP) di Indonesia. Sementara pada tahun 2019, tercatat 2.341 kasus KTAP.
Apakah penurunan angka itu mencerminkan kenyataan di lapangan? Tidak. Pandemik COVID-19 diduga menjadi penyebab banyak korban yang tidak melaporkan kasusnya. Angka-angka tersebut tentu tidak bisa hanya dibaca sekadar statistik dan laporan semata.
Psikolog Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Lampung, Retno Riani, menilai sejatinya temuan kasus ini tak ubah seperti fenomena gunung es. Peristiwa pelecehan seksual yang muncul ke permukaan, tak sebanding dengan kasus yang dibiarkan hilang begitu saja.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) juga mencatat berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) periode 2019-September 2020, kekerasan terhadap perempuan sebanyak 24.325 kasus dengan jumlah korban sebanyak 24.584 orang, dan kekerasan terhadap anak sebanyak 31.768 kasus.
Sedangkan korban yang tercatat sebanyak 35.103 anak dengan rincian 10.694 anak laki-laki dan 24.409 anak perempuan (Sekitar 2,3 kali lipat anak laki-laki).
“Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat tinggi. Mereka sangat rentan mengalami kekerasan. Karena itu semua pihak harus melakukan gerakan bersama untuk mencegah semua tindak kekerasan itu,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, dalam siaran persnya, Selasa (26/10/2021).
Masih dari sumber data yang sama, jenis kekerasan yang paling banyak dialami perempuan adalah kekerasan fisik sebesar 41,7 persen, kekerasan psikis 29,1 persen, penelantaran 11,0 persen, dan kekerasan seksual 10,5 persen. Sedangkan eksploitasi sebanyak 0,3 persen, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tercatat 1,5 persen, dan kekerasan lainnya sebanyak 5,8 persen.
Namun kekerasan seksual justru paling banyak dialami oleh anak-anak, yaitu mencapai 45,4 persen. Selain itu, kekerasan lain yang juga banyak dialami oleh anak-anak adalah kekerasan fisik sebanyak 20,4 persen, kekerasan psikis 18,1 persen, penelantaran 5,6 persen dan kekerasan lainnya 8,2 persen. Sedangkan eksploitasi dan TPPO masing-masing di bawah 2 persen.
“Lebih memprihatinkan. Ini harus menjadi perhatian bersama, mengingat dampak kekerasan seksual yang dialami anak-anak, akan sangat berdampak pada tumbuh kembang dan kehidupan mereka ketika dewasa nanti,” lanjut Bintang.
1. Dari ayah kandung, ayah tiri, kakek, semua memperdaya
Berdasarkan penelusuran IDN Times, ditemukan bahwa para pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur sebagian besar adalah orang dekat, yakni ayah kandung, ayah tiri, dan kakek tiri. Sementara pelaku yang merupakan orang lain, di antaranya pacar ibu korban, pedagang burung, dan kenalan di media sosial (medsos).
Ya, beginilah nasib anak-anak korban kekerasan seksual dan betapa berlikunya perjuangan mereka mencari keadilan. Mereka diperdaya, dilecehkan, dan dipaksa bungkam!
Pertama, kasus yang dilakukan oleh seorang ayah kandung yang terjadi di Sleman, Yogyakarta dan Sidoarjo, Jawa Timur.
***
Seorang ayah kandung berinisial SND (41) di Sleman merudapaksa kedua anaknya sejak tahun 2013. Kini, kedua korban telah berusia 18 dan 16 tahun. SND mengimingi uang jajan kepada kedua anaknya, namun ditolak.
Penolakan itu membuat sang ayah melakukan kekerasan fisik seperti mencubit, memukul, dan menendang. Kejadian itu dilakukan hampir setiap hari ketika ibu korban berjualan pecel lele. Selama delapan tahun mereka bungkam karena ancaman siksaan, tidak mendapatkan uang jajan, dan pelaku biasa membantu istrinya setelah melakukan aksi sehingga tidak menaruh rasa curiga.
Kasus terbongkar setelah anak pertama trauma dan melapor ke Kepolisian Resor (Polres) Sleman pada awal bulan September 2021. Pelaku akhirnya diamankan pada 12 September 2021. Ayah kandung ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara sesuai Pasal 81 Ayat 2 sub Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
***
Seorang ayah kandung berinisial TI (35) di Sidoarjo melakukan kekerasan fisik terhadap anak kandungnya (9) hingga mengalami gegar otak ringan, dan pecah gendang telinga. Ada dugaan pula bahwa sang ayah, yang kini sudah bercerai dengan ibu kandungnya, melakukan pelecehan seksual. Pelecehan ini diungkapkan oleh Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, pada Rabu (27/10/2021).
Kasus ini awalnya viral karena ibu kandung korban (AW) curhat meminta keadilan melalui grup Facebook E 100 LINTAS INFORMASI SUARA SURABAYA DAN SEKITARNYA. Kasus ini sampai di telinga Arist. Ia bersama timnya mencari tahu kebenaran kabar yang dituliskan oleh ibu kandung tersebut. Arist mengonfirmasi bahwa kejadian tersebut benar-benar dilaporkan oleh AW.
"Perwakilan kami sudah bertemu dengan korban dan ibu korban. Ini masih tahap awal. Kami akan susun lagi langkah-langkah apa yang harus kita tempuh berikutnya," ungkap Arist ketika dihubungi IDN Times, Rabu (27/10/2021).
Kepolisian Resor Kota (Polresta) Sidoarjo lalu menindaklanjuti laporan sang ibu dan menetapkan mantan suaminya sebagai tersangka. Namun polisi menyangkakan pasal penganiayaan kepada tersangka yaitu Pasal 80 Ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
"Sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pasal yang disangkakan itu Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014," kata Kasatreskrim Polresta Sidoarjo, AKP Oscar Stefanus, ketika dikonfirmasi IDN Times, Sabtu (30/10/2021).
Kedua, pelaku ayah tiri yang pernah terjadi di Tangerang, Banten dan Bandar Lampung, Lampung.
***
Ayah tiri berinisial RMS (46) melakukan pelecehan seksual kepada anaknya (13) di Tangerang pada periode 2019 sampai 2020, hingga sang anak mengalami trauma. Kasus ini terungkap setelah korban curhat kepada teman sekolahnya. Teman sekolah tersebut kemudian menceritakan hal itu kepada ibunya, hingga kemudian sampai ke telinga ibu korban. Ibu kandung lalu melapor ke Polres Metro Tangerang Kota pada 21 Oktober 2020.
Sebelas bulan laporan itu masuk kepolisian, belum ada perkembangan secara signifikan dalam proses hukumnya. Setelah ditekan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang, Polres Metro Tangerang Kota menangkap ayah tiri korban di awal 2021. Tetapi pelaku tidak ditahan karena alasan tidak akan melarikan diri, tidak merusak barang bukti, dan sanggup dihadapkan ke pengadilan.
Kini kasusnya sudah masuk ke tahap pengadilan. Tersangka awalnya tidak dapat hadir karena alasan sakit ketika persidangan perdana dilakukan pada 12 Oktober 2021. Pada 19 Oktober 2021, sidang pembacaan dakwaan untuk tersangka digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri Tangerang Klas 1 A. Pelaku didakwa Pasal 81 dan 82 nomor 17 Tahun 2016 UU Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Tanggal 26 Oktober 2021, terdakwa tidak mengakui telah melakukan pelecehan yang dilakukan pada periode 2019 sampai 2020. Namun ia tidak dapat mengelak ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyodorkan bukti chat asusila di pengadilan. Sidang dengan agenda mendengarkan kesaksian ibu, ayah, dan kakak korban akan dilanjutkan pada tanggal 1 November 2021.
***
Ayah berinisial DM (56) melakukan pelecehan seksual kepada dua anak tiri (16 dan 5 tahun), serta satu anak kandungnya (2). Paman korban melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah (Polda) Lampung pada 14 Oktober 2021. Sang ayah melakukan pelecehan ketika ibu korban tidur dan mengancam akan menceraikan ibunya apabila menolak.
Ayah yang berstatus tersangka tersebut awalnya merudapaksa anak sulung sejak 2017. Anak sulungnya telah melahirkan bayi laki-laki, diduga hasil perbuatan tersangka. Ia terancam dipenjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Hal ini sesuai Pasal 81 Ayat 1, 3 dan Pasal 76 Jo Pasal 82 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
"Ketiga korban tinggal satu rumah dengan pelaku. Karena itu sanksi hukumannya ditambah satu per tiga dari sanksi hukuman pokok," ujar Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad, Jumat (29/10/2021).
Ketiga, pelaku adalah kakek tiri. Tanggal 5 Oktober 2021, kasus pelecehan anak berusia 9 tahun yang dilakukan oleh terduga kakek tiri di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), akhirnya dilanjutkan kembali. Butuh waktu 1 tahun 3 bulan sang ibu kandung berjuang mencari keadilan sampai meminta bantuan kepada seorang Kuasa Hukum yang pernah menangani kasus pembunuhan Engeline di Bali, Siti Sapura.
Kasus ini sendiri sudah dilaporkan oleh ibu kandungnya pada 1 Juli 2020 ke Polda Kaltim, namun belum ada penetapan status tersangka. Ibu korban lalu kembali menanyakan perkembangan laporan kasusnya pada tanggal 19 Oktober 2020, di tengah sang korban disebut mengalami gangguan kejiwaan.
Kasubdit IV Renakta, AKBP I Made Subudi, menyebutkan alasan mandeknya kasus ini karena pihak kejaksaan meminta bukti tambahan sehingga membuat proses kasus ini berjalan cukup lama. Pihaknya baru-baru ini sudah melengkapi permintaan tersebut, yaitu bukti pendukung berupa rekaman Closed Circuit Television (CCTV) di Rumah Sakit Siloam Balikpapan.
Kata Subudi, pihaknya sudah mengupayakan semua barang bukti yang diminta oleh kejaksaan, hanya saja selalu ada kendala. Karena barang bukti sudah terpenuhi, pihaknya kini tinggal menunggu jawaban terakhir dari kejaksaan.
Dirinya terus menekankan tidak pernah sekalipun melupakan kasus ini dan mengupayakan kelengkapan barang bukti yang diminta oleh kejaksaan. Sementara soal barang bukti seperti seprai dengan noda sperma yang didapat, bahkan dirinya sendiri yang langsung membawanya ke laboratorium Surabaya untuk dilakukan pemeriksaan.
"Dalam waktu dekat, kami targetkan sudah penetapan (Tersangka)," ungkap Subudi.
Keempat, kasus semacam ini tak hanya terjadi di dalam hubungan kekeluargaan saja. Tetapi juga di luar lingkup keluarga. Seperti kasus di Klungkung, Bali yang dilakukan oleh pacar ibu korban. Berikutnya adalah pedagang burung yang mengaku menjadi polisi di Semarang, Jawa Tengah (Jateng), dan kenalan lewat medsos di Banda Aceh, Sumatra Utara (Sumut).
***
Seorang oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klungkung berinisial S Putu (57) melakukan pelecehan seksual kepada anak berusia 10 tahun. Kasus ini pertama kali mencuat pada bulan Mei 2021. S Putu sendiri merupakan pacar ibu korban.
Ibu korban melihat ada gelagat aneh dari putrinya, seperti ketakutan setiap kali S Putu datang ke kosannya. Karena ada perubahan sikap tersebut, sang Ibu berinisiatif langsung menanyainya. Korban akhirnya menceritakan perbuatan pelaku, hingga kasus ini dilaporkan ke Polres Klungkung. Berdasarkan hasil keterangan polisi, pelaku melakukan dua kali pelecehan pada periode Desember 2020 dan Januari 2021. S Putu ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman penjara minimal 15 tahun.
Korban mengalami trauma, sehingga melibatkan psikiater sekaligus pendampingan dari P2TP2A Klungkung dan dari Dinas Sosial, Pemerdayaan Perempuan, serta Perlindungan Anak Klungkung.
S Putu tercatat sebagai PNS aktif di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Klungkung. Ia bekerja sebagai staf di Bidang Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat.
Akibat perbuatannya, ia diberhentikan sementara sebagai PNS karena ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan kepolisian. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Pada 14 September 2021, majelis hakim Pengadilan Negeri Klungkung menjatuhkan vonis 8 tahun denda Rp300 juta sub 3 bulan kurungan kepada S Putu karena terbukti melanggar Pasal 76E jo Pasal 82 Ayat 1 UU Nomor Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
***
Pada 2019, seorang pria di Semarang, Jawa Tengah (Jateng) menggunakan modus berpura-pura menjadi polisi untuk merudapaksa perempuan berusia 15 tahun. Korban dirudapaksa berkali-kali dalam ancaman. Pelaku yang ternyata seorang pedagang burung tersebut akhirnya divonis 10 tahun penjara.
Namun yang menjadi perhatian dalam kasus hal ini adalah proses pengungkapannya. Staf Muda Divisi Bantuan Hukum Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Nia Lishayati, yang mendampingi korban memaparkan pernah dipersulit oleh kepolisian di tingkat bawah. Ketika kasus itu dilaporkan ke kepolisian di tingkat atas, prosesnya juga tidak lebih lancar.
‘’Laporan kami dipersulit dan seakan ditolak oleh kepolisian. Kami disuruh mencari bukti sedetail mungkin, seperti disuruh melihat CCTV dan menunjukkan di menit ke berapa kejadian itu. Padahal, seharusnya itu kan tugas penyidik. Prosesnya pun jadi menggantung,’’ ungkapnya ketika dihubungi IDN Times, Jumat (29/10/2021).
Selain itu, hakim persidangan tidak memiliki perspektif gender.
‘’Hakim itu tanya di mana sekolahnya, berapa nilai Pendidikan Kewarganegaraan korban, kok sampai tidak bisa membedakan polisi atau bukan, dan pertanyaan lainnya yang semakin membuat mental korban cedera. Sebenarnya sesuai aturan dan Undang-undang, pertanyaan mendiskriminasi itu tidak boleh disampaikan dalam persidangan kasus kekerasan seksual terhadap anak,’’ jelas Nia.
***
Anak berusia 17 tahun di Aceh Utara dirudapaksa berkali-kali oleh seorang pria berinisial Sy (32), yang dikenalnya melalui medsos. Semuanya terjadi dalam ancaman dan iming-iming akan menikahi korban.
Kasus terungkap ketika korban sempat hilang dari rumahnya. Pihak keluarga dan warga melakukan pencarian hingga menemukan korban di kebun cokelat yang tak jauh dari rumahnya.
Pihak keluarga lalu melapor ke Polres Aceh Utara, dan ditangkap oleh personel Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Aceh Utara.
Tersangka kini mendekam di balik jeruji polres setempat sambil menunggu berjalannya proses hukum. Belum diketahui aturan hukum mana yang akan diberikan kepada Sy. Menjeratnya dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berlaku secara nasional, atau menggunakan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat sesuai pemberlakuan hukuman di Provinsi Aceh.