Industri kerajinan di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian, dan Perdagangan Provinsi Bali, I Wayan Jarta, mengungkapkan Bappenas mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha di Bali melalui kegiatan diskusi tersebut. Terutama bagaimana pelaku usaha bisa menghasilkan produk yang berdaya saing di pasar lokal, nasional, maupun internasional.
Pelaku usaha kerajinan di Bali masih dihadapkan dengan persoalan ketersedian bahan baku. Bagi perusahaan skala besar, bahan baku bisa distok. Namun berbeda bagi pelaku usaha kecil yang tergantung dengan perubahan harga bahan baku. Misalnya untuk emas dan perak, para pelaku usaha dalam menjalankan produksinya, harus bergantung pada harga bahan tersebut. Jarta mengungkapkan bahwa hasil diskusi ini nantinya bisa direkomendasikan sebagai acuan pengembangan industri kerajinan di Bali.
Pohon coklat di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)
Contoh bahan baku lain adalah coklat. Bahan baku kakao tergantung dengan keberhasilan di hulu. Menurutnya, konsep bahan baku khusus di sektor pertanian ini tidak bisa dipikirkan sepotong-sepotong. Artinya, harus ada pembenahan dari hulu hingga hilirnya.
“Kita jangan terlalu berpikir pasar internasional lah. Bagaimana kita bisa membangun pasar lokal dulu. Pasar nasional dulu kita rambah. Baru setelah itu kita ekspor juga,” terang Jarta.
Pentingnya penguasaan pasar lokal ini, harus didukung dengan kecintaan masyarakat Bali terhadap produk-produk lokal. Apalagi terkait dengan produk pangan olahan Bali, diakuinya kalah di pasar lokal. Kalahnya produk pangan lokal ini disebabkan beberapa hal, termasuk kurangnya inovasi.
“Kita terlanjur ditimpa pasar luar kan. Pasar luar yang junkfood-lah. Ya makanan-makanan yang itu. Nah, mengembalikan ini, kembali ke produk lokal kan perlu edukasi. Perlu sosialisai supaya mayoritas masyarakat Bali ini mengkonsumsi produk lokal ini,” terangnya.