Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, mengatakan turis asal Tiongkok memang mendominasi kunjungan ke Indonesia dan Bali dalam beberapa tahun terakhir. Kendati demikian, kunjungan yang banyak tersebut tak sebanding dengan penerimaan devisa yang diperoleh Indonesia.
"Jumlah kunjungannya memang banyak, namun rata-rata pengeluaran dari wisatawan Tiongkok tersebut masih lebih rendah dibanding wisatawan negara lain," kata Ketua GIPI Bali, Ida Bagus Agung Partha Adnyana, saat dihubungi, Minggu (21/10) sore.
Ia melanjutkan, rata-rata pengeluaran wisatawan Tiongkok di Bali hanya sebesar Rp9,6 juta. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding pengeluaran wisatawan Australia, Eropa, dan Jepang yang mencapai US1170 dolar. Padahal saat berkunjung ke Thailand, rata-rata pengeluaran wisatawan Tiongkok mencapai 2026 dolar Amerika Serikat atau setara Rp30 juta pada 2017.
"Karena rendah, penerimaan devisa dari sektor pariwisata jadi tidak optimal," lanjutnya.
Dengan data tersebut, menyebabkan adanya lost opportunity sekitar 205 dolar per wisman. Jika potensi tersebut dikalikan total wisman Tiongkok yang datang ke Indonesia, sepanjang periode 2014-2017, maka totalnya mencapai 260 juta dolar atau setara Rp3,9 triliun.
Penyebab utama dari permasalahan di atas adalah praktik pemasaran "Zero dolar Tourism" yang ditawarkan oleh agen perjalanan wisata. Praktiknya adalah dengan menyubsidi paket perjalanan wisatawan. Namun dengan syarat wisman tersebut harus belanja di toko yang sudah ditentukan.
"Ya, seperti subsidi silang gitu," katanya.