Pengrajin patung penyu di Tampaksiring Gianyar (IDN Times/Ayu Afria)
Perjalanan usaha mereka dimulai sejak tahun 1995, ketika sang suami memutuskan untuk mandiri--setelah sebelumnya bekerja bersama pengrajin lain. Pada awalnya, usaha Ibu Jero hanya memproduksi patung dan parsel. Barulah setelah tahun 2007, Jero dan suaminya lebih fokus membuat patung penyu berbahan kayu.
Dengan keterampilan yang diasah dari pengalaman, mereka mulai menjual hasil karya dengan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dalam tradisi Bali, cara ini disebut kacung.
Semula, pasangan suami istri itu hanya mampu memproduksi puluhan patung. Dari situ, kemudian berlanjut kini bisa memproduksi 1.000–2.000 patung per bulan. Bahkan, seorang turis dari China menjadi langganannya dan kerap memesan dalam jumlah banyak.
Bengkel kerajinan patung penyu di Tampaksiring Gianyar (IDN Times/Ayu Afria)
Pasangan suami istri ini telah lebih dari dua dekade menekuni kerajinan tangan berupa patung penyu dari kayu. Bengkel kerajinannya memang tidak luas, mereka hanya memanfaatkan sisa atap belakang rumah dengan pagar tembok yang jebol, alat seadanya dan ruangan yang cukup sempit.
"Sehari mampu seratus, kan sudah ada alatnya. Mesin Gijig itu saya beli Rp2,5 juta tahun 1999. Kalau mesin yang dari Jepara mahal, Rp16 juta. Jam 07.00 Wita mulai dah bekerja sampai sore," terangnya.