Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
segiri kopi.jpg
Proses pembuatan fermentasi biji kopi robusta ala Segiri Kopi. (Dok.Pemkab Buleleng)

Buleleng, IDN Times - Penggiat kopi dari Desa Sepang, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Wayan Wardana (58), menyuguhkan hasil eksperimen dari fermentasi kopi robusta. Suguhan itu diberi nama Segiri Kopi, mengubah wajah robusta dan menantang stigma lama yang melekat padanya.

Wardana ingin menunjukkan bahwa robusta tidak semestinya terjebak dalam stigma sebagai kopi kelas dua, yang kalah pamor dari arabika. Niat itu membuat Wardana bereksperimen agar Biji Robusta Sepang mampu tampil dengan sisi lain yang lebih halus, lebih kompleks, tanpa kehilangan identitasnya.

“Selama ini robusta hanya dianggap sebagai kopi murahan, padahal di balik kepahitannya ada potensi besar. Saya ingin membuktikan bahwa robusta juga bisa punya rasa yang halus dan berkelas,” ujar Wardana.

Bagaimana cerita perjalanan Segiri Kopi? Baca selengkapnya di bawah ini.

1. Segiri, perpaduan antara Sepang dan Wanagiri

Ilustrasi biji kopi (IDN Times/Yuko Utami)

Perjalanan eksperimen robusta ala Wardana tidak hanya di Sepang, Ia juga menjelajah rasa biji kopi arabika dari Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada. Dua desa itu memiliki karakter biji kopi yang berbeda. Sepang perpaduan antara robusta pahit dengan arabika asam khas Wanagiri. Perpaduan ini menciptakan secangkir cita rasa baru jembatan antara robusta dan arabika. Paduan Sepang dan Wanagiri menghasilkan nama Segiri.

Warga Buleleng dan kopi saling bertaut satu sama lain. Sejak abad ke-19, Buleleng dikenal sebagai daerah penghasil kopi di Bali. Perkebunan robusta tumbuh subur di desa-desa dataran tinggi seperti Sepang, Gitgit, hingga Wanagiri. Namun dalam perjalanan sejarahnya, robusta kerap dipandang sebelah mata.

Rasa pahit yang pekat membuatnya kalah pamor dibanding arabika dari Kintamani yang lebih asam, segar, dan diminati pasar internasional. Padahal bagi warga lokal desa penghasil robusta, kopi robusta adalah teman setia di ladang. Robusta jadi penghangat tubuh di pagi hari, sekaligus menjadi sumber penghidupan warga sekitarnya.

2. Proses fermentasi menggunakan enzim rayap dan ragi tempe

ilustrasi ragi (freepik.com/jcomp)

Wardana melakukan eksperimen fermentasi dengan cara yang unik. Ia menggunakan enzim rayap untuk fermentasi anaerob (tertutup tanpa udara), dan ragi tempe untuk fermentasi aerob (terbuka dengan udara). Biji robusta pilihan dibiarkan berfermentasi selama satu hingga tiga hari. Proses fermentasi selama sehari menghasilkan rasa lebih lembut. Sementara dua hingga tiga hari menghadirkan sensasi asam yang lebih kuat, mendekati karakter arabika.

“Kalau fermentasi satu hari, rasa robustanya jadi lebih ringan. Kalau tiga hari, asamnya keluar dan mendekati arabika. Dari situ konsumen bisa memilih sesuai lidahnya,” kata dia.

Produksi Segiri Kopi masih terbatas. Lima kilogram biji robusta, hanya sekitar tiga hingga tiga setengah kilogram bubuk kopi yang dihasilkan. Produk dijual seharga Rp25.000 per seratus gram atau Rp250.000 per kilogram. Meskipun masih dalam produksi sederhana, peminatnya mulai bermunculan. Beberapa konsumen meminta fermentasi khusus sesuai selera.

3. Segiri Kopi telah didaftarkan HAKI

ilustrasi dokumen (Unsplash/2H Media)

Wardana sadar, langkah yang ditempuh masih panjang. Sebagai permulaan melindungi karyanya, Ia telah mendaftarkan Segiri Kopi mendapat Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Baginya, perjalanan ini tidak mudah, terlebih karena uji laboratorium untuk membuktikan manfaat kesehatan dari kopi ini masih menunggu hasil.

Namun, Wardana percaya bahwa fermentasi ini dapat menjadi jalan baru bagi robusta lokal. Harapannya, harga robusta kelak bisa mendekati arabika, sehingga petani tidak lagi merasa terpinggirkan.

“Saya tidak bermimpi terlalu tinggi, tapi saya yakin kalau robusta bisa mendekati rasa arabika, harganya juga bisa naik. Itu artinya petani tidak lagi merasa tertinggal,” tutur Wardana.

Editorial Team