Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Wisuda (Pexels.com/Emily Ranquist)

Denpasar, IDN Times - Polemik tren wisuda perpisahan di jenjang pendidikan TK, SD, SMP dan SMA juga terjadi di Bali. Menurut Pengamat Pendidikan, Prof Putu Rumawan, wisuda TK hingga SMA agar dimaknai positif oleh berbagai kalangan. Hal ini karena momen tersebut akan menjadi kenangan bagi anak didik dalam perkembangan diri mereka. Pelaksanaannya tidak perlu tempat mewah atau hotel, cukup sederhana dan bermakna.

"Ini sebuah gelagat yang berlangsung akhir-akhir ini seperti itu kondisinya. Setiap anak didik akan menilai perkembangan dirinya dari periode demi periode, dan itu akan menjadi sebuah sejarah nanti ketika sudah melewati semua itu, menjadi sebuah pertanda dan kenangan," terangnya, pada Sabtu (10/5/2025)

1. Wisuda jangan jorjoran, utamakan sederhana tapi bermakna

Foto ilustrasi anak sekolah. (Dok.IDN Times/Istimewa)

Pengamat Pendidikan, Prof Putu Rumawan, berpendapat kesan wisuda akan menjadi kenangan tersendiri bagi anak-anak. Namun alangkah baiknya dilakukan sederhana dan lebih mengutamakan makna. Misalnya memakai pakaian seragam sekolah, dan berfoto dengan latar belakang sekolah bersama para guru dan semacamnya. Juga dapat menggunakan baju adat dan berdoa. Terlebih di Bali dengan nasi jinggo atau tumpeng kecil, dirasa sudah cukup sebagai tanda perpisahan kelulusan.

"Maaf belakangan ini agak jorjoran. Semua bersaing mencari hotel, dan tempat-tempat yang berdampak. Menurut saya, mohon maaf, menyulitkan beberapa orangtua murid yang tidak mampu. Walaupun itu penting," terangnya.

2. Ada multiplier effect dari pelaksanaan wisuda

Ilustrasi wisuda. (IDN Times/Mardya Shakti)

Ia mencontohkan untuk kelahiran 1952, wisuda tidak ada di jenjang SD, SMP, dan SMA. Wisuda hanya dilakukan di perguruan tinggi, yang artinya saat itu mereka siap memasuki dunia kerja dan lepas dari dunia pendidikan. Rumawan menilai, wisuda saat itu sebagai luapan kegembiraan dan penghargaan oleh perguruan tinggi kepada mahasiswanya. Namun belakangan ini, sekitar 22 dekade yang lalu, wisuda telah dimulai di beberapa sekolah tingkat TK hingga SMA.

"Kalau itu dikaitkan pembebanan ekonomi atau keuangan, itu akan ada cost tambahan bagi anak-anak didik. Tapi kalau dilihat dari perputaran ekonomi, itu juga akan menyebabkan multiplier effect dalam pembangunan ekonomi karena orang harus beli pakaian dan lain-lain," terangnya.

3. Wisuda juga sebagai pencitraan sekolah, terutama sekolah swasta

(Ilustrasi wisuda) IDN Times/Mardya Shakti

Masing-masing sekolah juga memiliki cara untuk menjual citra sekolahnya. Tapi menurutnya, banyak yang lupa bahwa pencitraan di belakangnya selalu diikuti oleh biaya atau cost. Dari pengamatannya, kondisi di Bali pun demikian. Banyak sekolah swasta yang juga melakukan pencitraan melalui wisuda. Dengan demikian ia berharap pemerintah memberikan imbauan, agar sekolah tidak berlomba-lomba membuat program untuk pencitraan yang kemudian membebani orangtua siswa.

"Ini sangat penting kalau disosialisasikan sekarang. Tidak perlu Perda. Imbauan bahwa silakan kegiatan ini dilakukan dengan sederhana. Itu. Bayangkan setelah enam tahun kumpul terus berpisah. Menemukan lagi itu susah," katanya.

Editorial Team