Walhi Bali: Habitat Mangrove Terancam Investasi PT BTID

Denpasar, IDN Times - Sejumlah aktivis lingkungan tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, Kekal (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup), dan Frontier Bali mengkritisi sejumlah dampak yang dinilai akan mengancam ruang dan lingkungan hidup di Serangan.
Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata, memaparkan pada konferensi pers di Kubu Kopi, Jalan Hayam Wuruk, Kota Denpasar terkait temuan dampak investasi PT BTID (Bali Turtle Island Development) terhadap ruang hidup di Pulau Serangan. Ada sederet hal yang dikritisi Walhi Bali di antaranya sebagai berikut.
1. PT BTID mengajukan pengelolaan Tahura Ngurah Rai

Catatan Walhi Bali menemukan luasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai mengalami penyusutan karena pelepasan lahan mangrove kepada PT BTID seluas 62,14 hektare. Temuan lainnya, PT BTID mengajukan permohonan pelepasan luasan lahan mangrove seluas 27 hektare.
Pada kawasan tersebut berisi beberapa pura sebagai kawasan suci persembahyangan masyarakat. Pura yang ada di kawasan itu seperti Pura Pat Payung, Pura Beji Tirtha Harum, dan Pura Encakan Tingkih.
Di sisi lain, UPTD Tahura Ngurah Rai sebanyak 3 kali memberikan surat peringatan kepada masyarakat yang mengelola UMKM di kawasan Tahura Ngurah Rai. Mereka diduga melanggar kelestarian mangrove dan menyalahi UU KSDAE.
Pihak UPTD Tahura Ngurah Rai juga memperingati masyarakat jika tidak segera pindah, maka akan ditindaklanjuti ke ranah hukum.
“Kami menilai apa yang menjadi sikap UPTD Ngurah Rai sikap yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” ujar Krisna, pada Selasa (4/2/2025).
2. PT BTID dinilai melakukan sejumlah upaya privatisasi akses masyarakat

Sebelumnya, PT BTID sempat viral karena dugaan kasus privatisasi laut dengan pemagaran wilayah laut dengan pelampung berkawat. Komisaris Utama PT BTID, Tanto Wiyahya, mengklarifikasi alasan adanya pelampung tersebut karena wilayah laut itu menjadi lokasi penampungan BBM liar. Walhi Bali menilai klarifikasi itu tak berdasar. “Kalaupun ada penimbunan BBM liar PT BTID bisa melapor pihak berwajib, kalau dipasang pelampung dampaknya masyarakat tidak bisa mengakses pantai,” ujar Krisna.
Walhi Bali menemukan adanya batasan pagar laut itu panjangnya sekitar 143 meter yang terbentang dari barat laut ke arah tenggara. Penutupan kawasan teluk dinilai sebagai indikasi privatisasi oleh PT BTID seluas 46,83 hektare.
3. Privatisasi menyulitkan aktivitas masyarakat sebagai nelayan

Bagi Krisna, privatisasi ini menyulitkan masyarakat Serangan yang bekerja di sektor perikanan dan budidaya tumbuhan laut. Ia berpendapat, ini mencederai penghidupan masyarakat Serangan yang mayoritasnya adalah nelayan.
September 2023, PT BTID mengajukan Rencana Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (RKKPRL) total luasannya mencapai 245,1 hektare. Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP, Muhammad Yusuf, pada Oktober 2023 lalu menegaskan bahwa investor tak dapat menguasai satu pulau secara utuh.
Walhi Bali mengkhawatirkan adanya dokumen RKKPRL menjadi izin sah PT BTID untuk privatisasi dan pemblokiran perairan di Serangan.
“Kalau dia (pemerintah) mengetahui hal ini, seharusnya dia punya sikap tegas untuk menolak pengajuan dari PT BTID,” terang Krisna.
4. Walhi Bali berharap pemerintah segera bergerak

Menurut beberapa riset yang disampaikan Walhi Bali, jauh sebelum ramainya isu pelampung pembatas di air dan upaya privatisasi lainnya, PT BTID telah melakukan proyek kanal wisata yang mengisolasi masyarakat Serangan.
“Ternyata kanal wisata itu sama bermasalahnya dengan reklamasi. Masyarakat Serangan terisolasi di pulaunya sendiri, ini seakan menjadi batas,” kata Krisna.
Krisna dan jajaran aktivis lingkungan lainnya berharap agar pemerintah segera memberikan atensi terhadap masalah ini.
“Ini jadi pelajaran seperti ini beringasnya industri pariwisata. Sedikit demi sedikit merampas ritus dan kultur masyarakat setempat dari nelayan jadu bukan nelayan,” lanjut Krisna.
Kejadian di Pulau Serangan bagi Krisna dapat menjadi evaluasi pemerintah terkait pelaksanaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di seluruh Indonesia.