Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi sawah. IDN Times/Wayan Antara
Ilustrasi sawah. (IDN Times/Wayan Antara)

Denpasar, IDN Times - Desakan pariwisata di Pulau Dewata, berimplikasi terhadap bergesernya tren pekerjaan utama warga di Bali. Temuan awal ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. Melalui data itu, IDN Times membandingkan kondisi tahun 2010 dengan 2024.

Ada delapan kategori pekerjaan utama penduduk usia 15 tahun ke atas di Bali. Mulai dari tenaga profesional, teknisi, dan tenaga lain yang berkaitan dengan itu (ybdi); tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan; pejabat pelaksana, tenaga tata usaha, dan tenaga ybdi; tenaga usaha penjualan; tenaga usaha jasa; tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan; tenaga produksi, operator alat-alat angkutan, dan pekerja kasar; dan pekerjaan lainnya.

Perbandingan antara tahun 2010 dan 2024 menunjukkan tren peningkatan pada tujuh kategori pekerjaan utama. Namun, hanya satu kategori yang mengalami banyak penurunan. Kategori pekerjaan apa itu, kira-kira kenapa mengalami penurunan? Berikut ini pembahasan selengkapnya.

1. Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan satu-satunya yang mengalami penurunan. Alih fungsi lahan jadi turut andil

Melalui visualisasi diagram batang di atas terlihat jelas, bahwa hanya tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan yang mengalami penurunan selama 14 tahun terakhir. Pada tahun 2010, jumlah tenaga usaha di Bali sebanyak 667 ribu lebih orang. Sementara, tahun 2024 ada penurunan 197 ribu lebih, menjadi 470 ribu lebih orang.

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Udayana (Unud), I Wayan Sukadana, pernah menyinggung soal tantangan petani di Bali. Satu di antaranya soal kepemilikan lahan.

“Petani mengerjakan dengan lahan yang semakin sempit. Ada residential price (harga properti hunian) bahwa housing (perumahan) di Bali (pada) awal 2022, posisi Bali dan Denpasar masih di bawah 2 kota,” kata Sukadana. 

IDN Times telah menghimpun harga properti hunian dari berbagai sumber data. Bahwa pada 2022, harga rumah di Kota Denpasar sekitar Rp28 juta per meter persegi. Harga ini lebih murah dibandingkan Ubud dengan kisaran Rp32 juta per meter persegi, dan wilayah Badung sekitar Rp35 juta per meter persegi.

“Ada pembangunan infrastruktur, dan alih fungsi lahan sudah terjadi terkhusus Bali Selatan, Sanur, Nusa Dua,” jelas Sukadana.

Sukadana melanjutkan, harga hunian yang lebih murah inilah membuat Denpasar jadi lahan subur pembangunan hunian. Ia tak menampik wilayah lainnya seperti Kabupaten Tabanan, juga berpotensi mengalami hal serupa yang berakibat pada penurunan tenaga usaha pertanian dan kehutanan, akibat ketersediaan lahan yang terus tergerus.

2. Petani dan nelayan di Denpasar, tetap bekerja meskipun kondisi alam, sosial, hingga kebijakan yang limbung

Ketut Kembar petani di Denpasar. (IDN Times Bali/Yuko Utami)

Seorang petani di Subak Sembung, Ketut Kembar (53), telah 30 tahun merantau ke Kota Denpasar. Lelaki asal Kabupaten Karangasem ini mengaku sehari-hari menjadi petani dan kerap dilanda kesulitan.

Dadi petani ten nyidang maju, keweh, pas-pasan, cukup ngajeng manten l, soalnya biaya tinggi mangkin.”

Menjadi petani tidak bisa maju, sulit, pas-pasan, hanya cukup untuk makan saja, soalnya biaya sekarang tinggi. Itulah yang diungkapkan Kembar jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

Menurut Kembar, semua obat-obatan untuk merawat padi mahal. Beberapa kali Kembar merugi meski sudah mendapat subsidi pupuk sebanyak 8 karung, di mana per karungnya seberat 50 kilogram. Krisis iklim memengaruhi kondisi cuaca yang tak menentu, sehingga berpengaruh terhadap hasil panen padinya yang berjenis Inpari 32.

Sementara itu, nelayan madya di kawasan Sanur bernama Agus Purnawirawan, mengaku dilema terhadap kebijakan yang kerap berubah-ubah. Ia membandingkan kebijakan tentang nelayan dulu dan kini, tepatnya pada era Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Saar era Susi menjabat, Agus mengaku asuransi kesehatan nelayan gratis, tetapi kini harus mengikuti BPJS.

“Misalnya uang kematian uang kecelakaan, kita dapat dulu. Sekarang kita yang bayar BPJS,” ungkap Agus.

Pekerjaan nelayan dengan risiko tinggi, membuat Agus memilih jadi nelayan madya saja. Artinya, Agus berfokus pada nelayan pariwisata yang menemani wisatawan naik jukung dan memancing. Ia dan nelayan madya lainnya hanya sesekali saja melaut.

3. Warga yang bekerja di Bali sebagian besar adalah laki-laki

Sementara itu, jika melihat pembabakan data berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mendominasi berbagai jenis pekerjaan (silakan akses di sini https://public.flourish.studio/visualisation/25860161/). Terutama pada tenaga usaha produksi, operator alat-alat angkutan, dan pekerja kasar, ada 555 ribu lebih laki-laki yang bekerja pada sektor itu. Sementara, perempuan pada tenaga usaha tersebut sebanyak 339 ribu lebih. Sehingga totalnya ada 895 ribu lebih orang yang bekerja pada tenaga usaha tersebut, sekaligus jadi sektor dengan peningkatan signifikan.

Perempuan hanya mendominasi dua kategori usaha. Pertama pada tenaga usaha pejabat pelaksana, tenaga tata usaha, dan tenaga ybdi; kedua pada tenaga usaha penjualan. Ada 114 ribu lebih perempuan di Bali yang bekerja pada tenaga usaha pejabat pelaksana, tenaga tata usaha, dan tenaga ybdi. Sedangkan laki-laki pada kategori itu hanya sebesar 103 ribu lebih orang. Lalu, pada tenaga usaha penjualan, perempuan yang bekerja pada kategori tersebut sebanyak 324 ribu lebih orang, sedangkan laki-laki hanya sebesar 201 lebih orang.

Peluang perempuan untuk bekerja di Bali semakin mudah. Tetapi kondisi struktur sosial yang belum memadai, membuat perempuan harus berusaha lebih. Ini ditambah dengan pandangan konservatif yang masih mengakar bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan mengurus rumah tangga, belum sepenuhnya hilang. Bagaimana kamu memandang fenomena pergeseran tren pekerjaan ini? Yuk bagikan pendapat kamu.

Editorial Team