Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mia Amalia)
Sebelum speak up ke publik, sebaiknya korban sudah mendapatkan pendampingan psikolog/psikiater dan pendamping hukum. Mengapa pendampingan ini sangat perlu? Tentunya untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, mencegah segala risiko, dan paling utama untuk kenyamanan korban, baik secara fisik maupun psikis.
Bersuara di media massa tanpa perlindungan hukum dan pendampingan psikolog/psikiater dapat berakibat fatal. Apabila kasus yang diungkap ke publik belum diproses secara hukum, risikonya korban bisa dituntut balik oleh pelaku. Tidak menutup kemungkinan pula malah korban yang mendekam di penjara. Tekanan seperti ini kerap berujung pada pencabutan laporan.
Ratna memaparkan ada dua pandangan apabila di tengah perjalanan kasus, korban mencabut laporan dan melakukan mediasi dengan pelaku.
"Pertama, pada dasarnya kekerasan seksual yang merupakan delik kesusilaan dikategorikan sebagai delik aduan dengan konsekuensi bahwa hak untuk memproses kasus tersebut dikembalikan kepada korban karena korbanlah yang mengalami penderitaan. Bisa terjadi dengan memproses kasus tersebut bisa menambah penderitaan korban.
Kedua, posisi kekerasan seksual sebagai delik aduan tidak dapat memaksakan korban harus melanjutkan proses hukumnya, namun bisa dilakukan pendampingan atau pengarahan sebagai langkah pemberantasan kekerasan seksual di Indonesia untuk mendorong penyelesaian kasusnya untuk mengungkap dan mengadili pelaku. Proses hukum ini tidak serta merta menjadi fokus utama. Fokus utama adalah pemulihan, penanganan, dan perbaikan korban," jelas Ratna.
Korban kekerasan seksual dapat menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Woman Crisis Center (WCC) di +62 881-0387-76371 untuk mendapatkan pendampingan hukum dan layanan psikolog.