Potret tumpukan sampah di Pantai Kuta yang diambil oleh IDN Times pada 22 Januari 2018. (IDN Times/Imam Rosidin)
Sementara itu, Dr I Gede Hendrawan Peneliti dari Centre of Remote Sensing and Ocean Sciences, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, mengatakan sampah-sampah di pesisir barat Bali ini terus terjadi sejak bulan Desember 2018 hingga Januari dan Februari 2019, akibat puncak musim barat dan sistem pola arus yang ada di Selat Bali.
Dari survei yang dilakukannya pada tahun 2014 lalu dan dikembangkan dengan sistem arus di Selat Bali, sampah-sampah dari Selat Bali sebagian besar akan menuju daerah Legian, Kedonganan, Kuta dan sekitarnya. Menurutnya, hal ini jadi konsekuensi dari garis laut yang ada di Selat Bali.
"Ini akan terus terjadi dan pola arus tak akan berubah. Kalau pola angin tak berubah, pasti Kuta dapat banyak sampah ini," ucapnya.
Dari hasil penelitiannya juga, sampah baik plastik maupun organik hampir 80 persen sumbernya berasal dari darat. Sampah-sampah tersebut berasal dari sungai-sungai yang ada di Bali dan Jawa bagian Timur.
Mirisnya, sungai-sungai ini digunakan masyarakat sebagai tempat sampah. Jadi saat hujan pertama datang, seluruh sampah yang ada di sungai ini tersapu dan menuju ke laut.
"Kemudian pada Desember, angin semakin keras menuju ke timur dan dari barat. Ini yang akan membawa sampah itu dari perairan Banyuwangi ke Utara dan akan berbelok menyusuri pesisir Bali menuju ke Kuta," jelasnya.
Ia mengatakan, sampah-sampah ini tak hanya di pantai-pantai Badung Selatan, tapi hampir merata di seluruh pesisir Bali.