Ketua Eksekutif Komite IJF, Dini Widiastuti, mengatakan ia mengapresiasi inisiatif dari DPR yang telah menjadikan RUU TPKS ini sebagai RUU Usul Inisiatif Baleg DPR RI. IJF juga mengapresiasi Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang telah menunjukkan komitmen dalam mendorong percepatan pembahasan RUU TPKS.
Pengesahan RUU ini menurutnya menjadi milestone yang penting. Namun perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual ini masih panjang.
IJF mencatat ada beberapa hal yang belum diakomodir ke dalam RUU tersebut, khususnya yang berkaitan dengan isu perlindungan anak, di antaranya:
- Pemaksaan perkawinan
- Penjelasan lebih rinci terkait pencegahan dan penindakan kekerasan seksual di dan melalui perantara teknologi digital
- Unsur consent yang tidak relevan jika digunakan dalam berbagai bentuk kekerasan seksual yang dialami anak
“RUU ini tidak hanya menjadi tanggung jawab kementerian yang ditunjuk dalam implementasi RUU ini. Namun juga seluruh pihak, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, komunitas seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat. Selain itu, penting juga untuk melibatkan anak dalam konsultasi penyusunan Daftar Inventaris Masalah pemerintah,” tegas Dini Widiastuti.
Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Mia Amalia)
Tenaga Ahli Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, Dr Margaretha Hanita SH MSi, menambahkan, ada enam tantangan perlindungan korban dan pelaku kekerasan seksual anak. Enam hal itu belum diakomodir di dalam RUU TPKS, di antaranya:
- Dalam Pasal 26 RUU TPKS, kewajiban melapor hanya diberikan kepada tenaga kesehatan
- Harusnya keluarga, tenaga pendidik, masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama
- Belum adanya poin aborsi
- Belum adanya poin pencegahan kehamilan bagi korban pemerkosaan
- Terbatasnya rumah aman dinas sosial bagi korban
- Anak korban kekerasan seksual tidak mendapatkan rehabilitasi secara paripurna sehingga akhirnya menjadi pelaku kekerasan seksual