Ilustrasi banjir (IDN Times/Aditya Pratama)
Dikonfirmasi terpisah, I Made Juli Untung Pratama dari KEKAL (Komite kerja Advokasi Lingkungan Hidup) Bali turut mengkritisi penggunaan Air Bawah Tanah (ABT) oleh Pihak RS Amerta Husadha yang tercantum dalam dokumen ANDAL RKL-RPL.
Dokumen tersebut menyatakan kebutuhan air yang diperlukan untuk operasional sebesar 78,309 meter kubik per hari. Hal ini karena lokasi pembangunan proyek RS itu termasuk daerah dengan tingkat eksploitasi air kategori tinggi sejak 2010. Selain itu kawasan pembangunan RS ini berada di kawasan dengan status air yang defisit berdasarkan ekosistem alaminya.
Lokasi proyek juga berada di kawasan dengan status air yang tidak memiliki infrastruktur Sistem Penyediaan Air Baku (SPAB), serta berada di kawasan dengan status air tidak berkelanjutan berdasarkan indeks jasa ekosistemnya.
“Pemenuhan air untuk operasional rumah sakit sebanyak itu tentu akan berpengaruh terhadap ekosistem lingkungan sekitarnya, terlebih lokasi proyek juga berada di kawasan yang berstatus mengalami intrusi air laut. Artinya, eksploitasi air bawah tanahnya sangatlah tinggi,” tegas Untung Pratama.
Berdasarkan keterangan perwakilan masyarakat, bahwa masyarakat Kelurahan Sesetan juga banyak yang menggunakan sumur pribadi. Sehingga penggunaan Air Bawah Tanah (ABT) oleh proyek Pembangunan Rumah Sakit Amertha Husada juga menjadi kekhawatiran masyarakat.
Walhi Bali juga menyatakan, wilayah lokasi proyek termasuk dalam kondisi lingkungan yang buruk, sangat rentan terhadap bencana banjir dan gempa bumi. Namun, Walhi Bali menemukan bahwa pihak RSU Amerta Husada Sesetan tidak menampilkan jalur evakuasi jika terjadi bencana dari layout siteplan dan gambar teknis di setiap lantai.
“Artinya rumah sakit ini tidak siaga terhadap bencana jika terjadi banjir dan gempa bumi,” kata Krisna.