Denpasar, IDNTimes - Di tengah arus digitalisasi yang semakin kuat, ragam permainan tradisional kini nyaris ditinggalkan oleh anak-anak, seperti gobak sodor, petak umpet, egrang, congklak, dan lainnya. Padahal ada banyak manfaat yang bisa didapat dari permainan tradisional. Jauh sebelum ada gawai, anak-anak menghabiskan waktu bersama temannya dengan memainkan permainan tradisional di ruang-ruang terbuka.
Generasi baby boomer (1946 - 1964) dan generasi X (1965 - 1980) termasuk yang paling mengenal permainan tradisional. Mereka tumbuh ketika teknologi berbasis gawai di genggaman belum menguasai berbagai gerak.
Seorang warga Denpasar, Yudha Maruta (44), mengungkapkan saat dulu ia masih kecil, sering bermain pistol-pistolan dari pelepah pisang. Selain itu, Yudha yang dibesarkan di Kelurahan Penarukan, Kabupaten Buleleng ini juga bermain ting atau lampu dari kaleng bekas, dan mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali.
“Jadi (sekarang) kurang ada rasa kebersamaan. Kurang ada rasa kompetisi di sana. Terus kerja sama sesama anak-anak ini kurang juga. Jadi dampaknya ke sifat sosialisasi mereka mungkin beda sama yang dulu,” ungkapnya.
Maestro tradisi lisan yang bertahun-tahun melestarikan permainan tradisional, Made Taro (81), menyampaikan bahwa teridentifikasi ada 200 jenis permainan tradisional di Bali. Jumlah tersebut berdasarkan data yang ia kumpulkan sejak tahun 1973 hingga saat ini. Hanya saja dari keseluruhan permainan tersebut, ternyata sebagian besar sudah mati suri.
Bagaimana dengan daerah lainnya di Indonesia? Apakah mengalami hal serupa dengan Bali? Akankah permainan tradisional ini benar-benar punah atau ada cara lain untuk menghidupkannya kembali? Berikut liputan IDN Times di berbagai daerah di tanah air.