Mina (51) dan keponakannya harus mengantre bersama ratusan orang setiap mau buang air besar (BAB) di ponten (jamban) umum. Seharian bisa sampai tiga orang yang mengantre. Ia pun harus mengeluarkan Rp1.000 kalau mau BAB di sana. Mina tak punya jamban pribadi di rumahnya. Ukuran rumahnya saja 3x4 meter dan berdiri di bantaran rel kereta daerah Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Simokerto, Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Denpasar, IDN Times - Mina sudah puluhan tahun tinggal di bantaran rel kereta. Mending mengantre di jamban umum ketimbang buang air besar sembarangan (BABS) di kali (sungai). Bukannya tak mau memiliki jamban pribadi, Mina saja bersyukur sudah bisa membangun kamar mandi beberapa bulan lalu. Setidaknya itu mengurangi ketergantungannya pada jamban umum.
"Aslinya kepengin, tapi ya gimana gak punya uang. Saya gak ada uang. Bisa saja kalau dibuat jamban, pokoknya ada biayanya," kata Mina kepada IDN Times, Sabtu (3/6/2023).
Jamban umum ini merupakan bantuan dari pihak luar, yang dikelola oleh Yani. Dari enam unit toilet, hanya satu toilet yang rusak dan otomatis tidak dapat digunakan. Penggunaannya memang untuk orang-orang yang tinggal di bantaran kereta. Terkadang ada orang lain yang numpang BAB di sini.
Yani membersihkan tempat tersebut setiap hari, dan memakai jasa sedot WC setahun sekali. Namun kalau lagi hujan-hujanan, dikurasnya harus 10 bulan sekali. Ia mengaku pendapatannya mulai menurun. Sebab masyarakat sudah banyak yang memiliki jamban sendiri.
"Sekarang sehari dapat Rp30 ribu. Kalau dulu ya lebih dari itu," ujar Yani.
Ada 60 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di bantaran rel kereta Kelurahan Tambakrejo, dan tak semuanya memiliki jamban pribadi. Meski begitu, perlahan-lahan mereka mulai berinisiatif membuat jamban sendiri.
"Jumlah Kepala Keluarga (KK) di sini ada 60. Satu rumah ada yang dua tiga KK, tapi tidak semua memiliki jamban," kata Ketua RT setempat, Ahmad Husaini.
Lain cerita dengan Sunarti, yang sama-sama tinggal di bantaran rel kereta tapi di daerah Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto, Surabaya. Dulu ia sama seperti Mina, yaitu pengguna jamban umum. Namun awal tahun 2000-an, ia membangun jamban sendiri di rumahnya. Bukan memakai uang pribadi, ia berinisiatif meminta bantuan ke Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui puskesmas setempat. Kini semua warga di sana punya jamban sendiri meski tinggal di atas tanah milik KAI (Kereta Api Indonesia).
"Kalau campur (jamban umum) kan gak enak. Kalau satunya bersihan satu enggak kan gimana. Kalau punya sendiri kan enak," tutur Wakil Ketua RT tersebut.
Beralih ke kawasan Cikaso, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Puluhan lubang pipa paralon pembuangan limbah rumah tangga di kawasan ini banyak yang mengarah ke Sungai Solokan. Dari air sisa bekas mandi, air cuci piring, hingga tinja terbuang ke sungai. Dayat, warga Cikaso, mengakui bahwa limbah di jamban rumahnya memang tidak masuk ke dalam septic tank. Rumahnya sendiri berada di kawasan padat penduduk dengan lahan terbatas, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat septic tank. Makanya ia memanfaatkan sungai di depan rumah sebagai tempat pembuangan.
"Dari dulu. Bukan cuma rumah saya, banyak rumah yang memang buang kotorannya langsung ke sungai," kata Dayat kepada IDN Times, Jumat (2/6/2023).
Sebenarnya ada jamban komunal (jamban digunakan lebih dari satu keluarga) di daerah itu. Namun kata Dayat, kondisinya tidak nyaman. Selain itu, hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet yang bisa dipakai. Sehingga warga lebih memilih BAB di rumahnya sendiri.
"Adanya seperti ini, jadi kita manfaatkan saja. Susah juga kalau sekarang harus buat septic tank pas rumah udah ada kan?" sebutnya.
Cerita-cerita Mina, Yani, Sunarti, dan Dayat adalah gambaran kecil di lapangan bahwa warga Indonesia belum memiliki akses sanitasi layak. Menurut UNICEF, hampir 25 juta orang Indonesia tidak memakai toilet. Mereka memilih BAB di sungai, ladang, parit, hutan, dan ruang terbuka lainnya. Belum lagi, pembuangan limbah tinjanya yang tidak dikelola dengan baik berisiko menyebarkan penyakit diare. Lalu data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2023 menyebutkan 30,15 juta jiwa masih BABS dari total 287,76 juta (jiwa) penduduk Indonesia.
PBB memiliki target untuk menyejahterakan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals [SDGs] atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Satu di antara targetnya (termasuk Indonesia) adalah semua orang memiliki akses universal terhadap air bersih dan sanitasi layak pada tahun 2030. Jadi, Indonesia menargetkan 100 persen rumah tangga bersanitasi layak pada tahun 2030.
Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak di Indonesia tahun 2022 sebesar 80,92 persen. Masih tersisa 19,08 persen rumah tangga lagi untuk mengejar akses sanitasi layak. Atau setidaknya Pemerintah Indonesia harus memperbaiki akses sanitasi tidak layak minimal 2,4 persen per tahun.
Kira-kira pemerintah daerah sudah melakukan upaya apa saja ya untuk memenuhi target tersebut, dan apa kendala sebenarnya? Berikut ini hasil liputan kolaborasi 12 regional IDN Times.