Ilustrasi sampah yang menggunung (pexels.com/tomfisk)
Fabby mengatakan, teknologi yang pertama adalah mengonversikan gas metana. Sebab sebagian besar sampah di TPA adalah sampah organik. Gas metana ini sebagai beban teknologi yang ada menggunakan teknologi major gasifikasi.
“Setahu saya, teknologi gasifikasi yang saat ini dipakai di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Putri Cempo di Solo,” ujarnya.
Sementara, teknologi kedua adalah menggunakan insinerator. Tapi Fabby berkata, teknologi ini sangat mahal meskipun berbagai negara llain telah terlebih dahulu menggunakan insinerator. April 2025 lalu, Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan akan membangun insinerator bekerja sama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di TPA Temesi, Kabupaten Gianyar. Kala itu, Koster berkata juga soal pemindahan sampah sementara, dari TPA Suwung ke TPA Temesi.
Berdasarkan wawancara IDN Times pada 7 Juni 2025 lalu. warga Desa Temesi menolak adanya pembangunan insinerator jika untuk mengelola sampah dari kabupaten lain. Kepala Desa Temesi, I Ketut Branayoga, menolak tegas adanya proyek tersebut karena lahan yang akan digunakan berstatus Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Branayoga bercerita, tanah warga seluas empat hektare di Temesi telah dikontrakkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gianyar untuk pengelolaan sampah di TPA Temesi. Sisanya telah menjadi hamparan sampah.
“Sudah sampah semua, bahkan tanah mereka (warga) gak diketahui batas-batasnya yang tujuh atau delapan pemilik itu sudah penuh dengan sampah semua,” ucap Branayoga.
Terakhir, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Kadis KLH) Provinsi Bali, I Made Rentin, menyatakan proyek insinerator itu tidak jadi membidik Desa Temesi sebagai lokasi pembangunan. Namun, Rentin yang ditemui pada 30 Juni 2025 lalu enggan membuka lebih lanjut tentang proyek insinerator ini.