Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Pixabay.com/Pexels)
Dari informasi-informasi di atas, Polda Bali dalam hal ini Subdit IV Ditreskrimum mengklaim telah melakukan upaya secara maksimal terkait peristiwa itu. Namun mereka masih menemukan kendala, yaitu orang yang diduga sebagai korban enggan memberikan keterangan. Hal itu menyebabkan para penyidik tidak bisa mengumpulkan alat bukti untuk membuktikan kasus tersebut benar terjadi.
Kedua, penyidik tidak bisa melakukan penyidikan tanpa adanya keterangan korban (Korban masih hidup atau sehat). Karena keterangan saksi-saksi yang baru diperoleh hanyalah saksi yang mendengar cerita dari orang yang diduga sebagai korban, dan bukan saksi yang mengalami atau mengetahui peristiwa secara langsung (Testimonium de Auditu).
Ketiga, bahwa terhadap informasi adanya rekaman pengakuan pelaku, sampai saat ini penyidik memperolehnya. Bila benar ada rekaman tersebut, maka rekaman tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh alat bukti lain (Seperti keterangan korban, saksi, surat. ahli dan petunjuk). Di mana pengakuan pelaku baru bernilai sebagai alat bukti bila diucapkan di depan sidang pengadilan (Keterangan terdakwa).
Keempat, bahwa terkait dengan orang yang diduga sebagai korban tidak mau memberikan keterangan. Penyidik tidak bisa memaksa karena sesuai dengan pasal 5 huruf c Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa saksi dan korban berhak "memberikan keterangan tanpa tekanan."
"Harusnya kita bersama tak memaksa orang yang diduga sebagai korban untuk memberikan keterangan. Karena korban tak mau mengingat lagi trauma masa lalunya. Kita harus bersama melindungi hak korban yang sudah hidup tenang," tutupnya.