Perjalanan Pasar Ubud dari Revitalisasi dan Mencoba Bangkit

Gianyar, IDN Times - Ubud mendapat tempat tersendiri bagi wisatawan lokal maupun internasional. Arsitektur dan historisnya telah ada sejak abad IX. Pusat pemerintahannya di masa kerajaan berada di Puri Saren.
Lokasinya yang strategis berada di kawasan pempatan agung (simpang empat yang memiliki nilai sakral) menjadikannya sebagai sentra desa. Pusaran strategis ini diiringi dengan pengembangan pusat ekonomi, sosial, seni, histori, dan budaya. Sebagai pusat ekonomi, kawasan ini identik dengan Pasar Ubud.
Situs resmi Kemenparekraf RI menyebut sejak tahun 1920-an pun, Ubud telah menjadi destinasi wisata bagi wisatawan dunia, yang membuat orang ingin datang dan datang lagi, bahkan sampai menetap dan tinggal di sana. Lalu, bagaimana kondisi Pasar Ubud dulu dan kini?
1. Telah ada sejak tahun 90-an
Menurut jurnal ilmiah berjudul Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya Pada Bangunan Puri, satu elemen yang terletak di pempatan agung adalah lapangan, yang berada di arah Kelod-Kangin (Tenggara). Budihardjo, penulis jurnal yang terbit pada tahun 1995 mengungkapkan dalam sejarah Ubud, lapangan tersebut adalah alun-alun.
Akibat desakan perluasan pasar, alun-alun desa yang berada di depan puri dan bersebelahan dengan Pasar Ubud, berubah fungsi. Sejak tahun 1992, alun-alun desa berubah fungsi menjadi komplek pertokoan dua lantai.
Mulanya, Pasar Ubud adalah pasar tradisional berpola ruang los dan cagcag (setara dengan pedagang kaki lima). Pola ini diganti dengan sistem kamar dan dibangun ke arah vertikal. Hal ini berdampak pada para pedagang yang tetap mempertahankan sistem los. Mereka harus bergeser ke bagian belakang pasar dan suasana pasar desa tidak terlihat dari jalan.
Selain alun-alun, ruang-ruang interaksi sosial seperti bale wantilan (bangunan besar terbuka untuk menampung berbagai aktivitas masyarakat) terkomodifikasi sebagai gedung-gedung pertunjukan komersial. Ruang dalam ditata sebagaimana layaknya ruang teater, dengan pola menonton satu arah.