Eka Wiryastuti. (Instagram.com/eka_wiryastuti)
Ayah Eka, Adi Wiryatama, sejak dulu mendorong anak-anaknya untuk hidup mandiri. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di usia17 tahun, Eka mengikuti sang ayah ke Jepang dalam rangka bisnis. Sesampainya di Jepang, ia memutuskan untuk tinggal di sana dan bekerja mencari nafkah.
"Jadi saat diajak ke Jepang, aku sudah gak mau pulang. Waktu itu bapak buka usaha garmen, lagi ngecek barang di Jepang. Aku gak mau pulang dan minta tinggal di sana. Aku kerja di sana sebagai penjahit. Ayahku sampai meneteskan air mata. Aku dikasih mesin jahit canggih. Itu pertama kalinya aku kerja. Terpaksa belajar, waktu itu bikin celana robek-robek. Aku sendiri dalam sehari bisa jahit 300 celana. Rata-rata kerja 9 sampai 12 jam sehari, gajinya dibayar per jam. Aku ngalah-ngalahin orang Jepang. Dapat kerja, dapat duit. Itu kebanggaan bagiku," ujar Eka dalam bukunya.
Sambil bekerja, Eka juga kuliah di jurusan Fashion Designer di Jepang. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk menetap di Jepang. Namun rupanya takdir berkata lain. Setelah 5 tahun tinggal di Jepang, pada tahun 1997, musibah gempa melanda Jepang.
"Bagaimana aku menyelamatkan diri ketika Jepang dilanda gempa tahun 1997. Aku tidak punya siapa-siapa," katanya.
Saat bencana terjadi, Eka merasa dunia sedang kiamat. Ia tertimpa televisi dan kulkas. Ia kemudian bertahan hanya dengan makan onigiri. Sampai pada akhirnya, ayahnya memanggil dia untuk pulang ke Indonesia.
Setelah pulang ke Indonesia, Eka merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di bidang fashion. Ia membuka usaha fashion di sana sampai akhirnya dipanggil pulang lagi ke Bali, untuk meneruskan usaha garmen keluarga.
"Ayah terpilih jadi Bupati Tabanan. Saya disuruh pulang ke Bali untuk mengurus usaha garmen milik keluarga," jelasnya.