(Dok.pribadi/Ufiya Amirah)
Perempuan asal Kabupaten Tabanan, Ni Luh Gede Nanda Gayatri, menuturkan bahwa ada banyak kerugian yang dialami perempuan dari nilai-nilai patriarki dalam adat. Baginya, ada tiga masalah patriarki yang krusial dihadapi perempuan Bali dalam kehidupan sehari-sehari.
Pertama, perempuan Bali mengalami beban ganda, sebagai istri dan ibu harus bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, juga harus mempersiapkan kebutuhan ritual adat.
"Ketika perempuan Bali sudah dewasa dan apalagi menikah, seorang perempuan Bali tidak hanya mengurusi dapur, anak, dan suami saja. Ada nilai-nilai adat, misalnya ritual yang harus mereka lakukan. Contohnya membuat banten (Upakara) sampai dengan melakukan upacara, saat ada upacara keagamaan di Bali," ucap Nanda, Sabtu (26/3/2022).
Kedua, dalam kegiatan sangkep (Rapat desa), perempuan tak memiliki hak bersuara dan laki-laki lah yang memutuskan perkara dalam rapat. Kemudian, perempuan yang menjalani keputusan tersebut.
"Dalam adat Bali, suara perempuan tidak begitu didengarkan. Hal ini terlihat dari sangkep yang di kebanyakan desa, hanya laki-laki yang boleh mengambil keputusan. Para perempuan cukup diam di rumah dan mengikuti saja apa yang sudah diputuskan oleh para laki-laki. Padahal perempuan Bali juga adalah manusia yang sudah seharusnya setara dalam hal pengambilan keputusan yang juga bagian dari dirinya," jelas Nanda.
Ketiga, sistem purusa dalam adat telah mempersulit perempuan dalam menghadapi kekerasan rumah tangga. Berkaca kepada Darmi, Nanda mengamini adanya keyakinan dalam masyarakat Bali bahwa begitu hinanya menjadi seorang janda yang harus kembali ke rumahnya. Sementara pada saat pernikahan, ia telah melakukan ritual upacara pamit.
"Sistem purusa dalam adat Bali menyebabkan seorang istri, ketika dia mengalami KDRT misalnya, akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari suaminya, dari keluarga suami. Entah karena alasan takut tidak dapat bertemu anaknya atau takut tidak akan mendapatkan tempat lagi di rumahnya karena sudah mepamit," kata Nanda.