ilustrasi demam (IDN Times/Mardya Shakti)
Selain kurang layaknya pelayanan kesehatan untuk pasien isoter tersebut, PRT juga mengeluhkan perihal ketersedian obat yang menurutnya jumlahnya terbatas. Sebagai pasien isoter, jika ia mengeluhkan sakit, harus turun ke lantai bawah melalui tangga untuk meminta obat yang dibutuhkannya. Rupanya ketersediaan obat di tempat isoter tersebut sangat terbatas.
"Obatnya di sini pun terbatas. Nggak semua obat ada. Misalnya aku lagi panas. Aku butuh sanmol forte dan juga spasminal, nggak ada di sini. Hanya sekedar aja," ungkapnya.
Lalu apakah selama isoter mereka juga diberikan obat tertentu? Berdasarkan pengalaman PRT sejak hari pertama isoter, ia hanya diberikan vitamin satu pepel saja. Selain itu tidak ada lagi obat yang ia terima.
"Nggak tahu harus ke mana. Ini gimana nasib kami di sini? Kami mati pun petugas di bawah nggak akan tahu," ucapnya.
Untuk mengurangi kekesalannya selama menjalani isoter, PRT mencari kesibukan lain dengan menulis atau mengarang. Terkadang juga menonton film di handphone-nya. Suasana ini, menurutnya sangat menyedihkan. Ia menganggap isolasi mandiri di rumah lebih baik daripadar isoter di hotel semacam ini.
"Kayak di penjara. Benar-benar dipenjara," jelasnya.