Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pengelolaan keuangan LPD di Bali. (IDN Times/Yuko Utami)
Ilustrasi pengelolaan keuangan LPD di Bali. (IDN Times/Yuko Utami)

Buleleng, IDN Times - Tim Peneliti Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) menyampaikan laporan pendahuluan kajian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Buleleng. Hasil riset pendahuluan dari Prof I Nengah Suastika dan Dr I Nengah Suarmanayasa menunjukkan, bahwa 62 LPD di Buleleng dalam kategori cukup, kurang, atau tidak sehat. Sementara, ada 81 LPD di Buleleng berstatus sehat dan 25 LPD sudah tidak beroperasi.

Riset awalan ini disampaikan dalam Sidang Tim Pengendali Mutu (TPM) Pembahasan Laporan Pendahuluan. Tujuannya untuk menyusun kerangka Kajian Optimalisasi Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Buleleng. Pemaparan riset itu berlangsung di Ruang Auditorium Balingkang Confucius Institute, Undiksha Singaraja Jumat lalu, 19 September 2025.

1. LPD menghadapi berbagai kerentanan, termasuk permasalahan hukum

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Ketut Fongky Suhendra Yasa mewakili Polres Buleleng menyampaikan materi Peran Desa Adat dalam Mengontrol LPD. Menurut Fongky, lembaga keuangan adat dikontrol oleh krama (warga) desa melalui mekanisme awig-awig (aturan adat), prajuru (pengurus) desa adat, dan paruman (rapat) desa. Bagi Fongky, kontrol adat dalam LPD bukan tanpa kerentanan. Kerentanan yang dihadapi LPD seperti lemahnya sumber daya manusia (SDM), potensi konflik internal, hingga modus korupsi seperti penggelapan dan kredit fiktif.

“Oleh karena itu, pentingnya pembinaan, audit eksternal, serta peningkatan kapasitas pengurus LPD,” ujar Fongky dalam rilis yang diterima, Sabtu (20/9/2025).

Kepala Seksi Pengendalian Operasi pada Asisten Tindak Pidana Khusus, Anak Agung Ngurah Jayalantara, menyampaikan materi tentang LPD Sebuah Konsep Tata Kelola. Jayalantara menyampaikan bahwa tujuan awal pembentukan LPD sangat mulia, yaitu menyejahterakan warga adat dengan orientasi sosial dan budaya. Namun, dalam perkembangannya, banyak LPD beroperasi seperti bank komersial dengan jangkauan usaha yang meluas hingga ke luar warga adat. Menurut Jayalantara, hukum adat tidak dapat menjangkau warga luar adat.

“Semua permasalahan LPD tetap jatuhnya di paruman adat, sementara modus penyalahgunaan seperti debitur bermasalah atau nasabah yang masuk daftar hitam BI, justru lari ke LPD untuk mendapatkan akses pinjaman,” kata Jayalantara.

2. Sanksi adat dalam persimpangan, antara masih ditakuti hingga tidak lagi dipedulikan

Ilustrasi sanksi kejahatan (freepik.com/fabrikasimf)

Jayalantara melanjutkan, sanksi adat bersifat sosial emosional semakin lama tidak lagi ditakuti. Menurutnya, jika ada pihak yang ingin berorientasi profit, lebih baik mendirikan lembaga keuangan mikro formal di luar LPD. Masalah lainnya, ada rasa segan pengurus desa adat. Bagi Jayalantara, fenomena bendesa adat selaku pemilik sekaligus pimpinan LPD sering kali tunduk pada pengurus LPD. Sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan optimal. 

Padahal, upaya pengembalian LPD ke konsep awal sangat memungkinkan dengan pengawasan dari bendesa adat, asalkan ada regulasi yang tegas dari pimpinan adat melalui pendekatan top-down. Bagi Jayalantara, LPD seharusnya kembali ke konsep awal sebagai lembaga sosial-ekonomi adat, bukan bertransformasi menjadi bank komersial.

“Agar LPD tetap kuat dan dipercaya warga adat, maka harus dipegang teguh slogannya: LPD agar cenik siteng (kecil tetapi kokoh), kuat berdiri dengan prinsip sosial-budaya untuk kesejahteraan krama desa,” tegas Jayalantara.

Jayalantara juga mengingatkan lemahnya tata kelola membuka kemungkinan LPD dimohonkan pailit. Itu terjadi jika LPD dikelola seperti lembaga keuangan komersial tanpa dasar hukum yang kuat. Sehingga, regulasi dan peran yang jelas serta tegas dibutuhkan agar LPD kembali pada jati dirinya sebagai lembaga sosial-ekonomi adat.

3. Menata kembali LPD, memperbaiki lembaga pengawasnya

ilustrasi pengawasan (pixabay.com/CUsai)

Para pembicara sepakat bahwa fungsi pengawasan LPD tidak berjalan maksimal. Mereka mengistilahkan lembaga pengawas layaknya macan ompong. Sebab, Lembaga Pengawas LPD hingga Badan Kerja Sama (BKS) LPD tidak memiliki kewenangan cukup untuk menjatuhkan sanksi.

Lintas hukum nasional dan adat dalam mendorong legalitas perjanjian keuangan juga menjadi perbincangan dalam sidang. Urgensi pendampingan oleh lembaga keuangan formal, minimal BPD Bali, untuk membantu memperkuat tata kelola dan memitigasi risiko. Peran kerta desa adat serta bendesa adat juga ditekankan kembali, agar mekanisme pengawasan internal desa adat dapat berjalan lebih efektif. Termasuk pendampingan langsung kepada warga adat agar turut serta dalam mengawal tata kelola LPD berjalan optimal.

Editorial Team