Denpasar, IDN Times – Tanggal 11 Maret, Bali mendapatkan kasus kematian COVID-19 pertama. Yaitu seorang perempuan Warga Negara Asing (WNA), yang pada saat itu dilabeli sebagai Kasus 25, meninggal di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Kala itu total kumulatif Pasien dalam Pengawasan (PDP) COVID-19 di Bali sebanyak 48 orang.
Saat itulah kasus COVID-19 di Bali terus mengalami peningkatan. Gubernur Bali, I Wayan Koster, lantas mengeluarkan Instruksi Gubernur Bali Nomor 8551 Tahun 2020 Tentang Penguatan Pencegahan dan Penanganan COVID-19 di Bali pada tanggal 1 April 2020. Sejak saat itu segala aktivitas masyarakat, sekolah, objek wisata, kegiatan adat dan agama, hingga transportasi masuk-keluar Bali dibatasi.
Pada tanggal 15 Mei, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar telah menerapkan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) hingga batas waktu yang belum ditentukan. Pakar Hukum Tata Negara yang juga merupakan Mantan Hakim Konstitusi MK (Mahkamah Konstitusi), Dr I Dewa Gede Palguna, juga menilai penerapan PKM ini memang harus dilakukan.
“Ini situasi emergency lho. Kuncinya itu adalah kecepatan bertindak gitu kan. Kalau kecepatan bertindak diadu dengan birokrasi ya ndak (Tidak) nyambung. Orang keburu mati duluan. Itu yang ndak beres selama ini,” kata Palguna kepada IDN Times, Senin (11/5) lalu.
Palguna juga menambahkan, kecepatan bertindak mulai dari administrator pemerintahan dan disiplin dari masyarakat sangat menentukan hasil penanganan pandemik COVID-19. Sampai-sampai ia menilai, kondisi ini diperumpamakan sebagai perang melawan musuh yang tidak terlihat. Sejauh ini, desa adat ikut terlibat dalam menjalankan segala kebijakan dari pemerintah selama pandemik. Bahkan beberapa masyarakat Bali menilai, keberadaan pecalang kini juga sebagai garda terdepan pengamanan untuk menyukseskan pencegahan penyebaran COVID-19.
Selama kebijakan physical distancing berlangsung, ada dua kasus di Bali yang menyorot banyak perhatian publik. Sebab kasus ini dinilai sama-sama berkaitan dengan acara keagamaan.
Pertama adalah pengabenan yang digelar Dadia Pasek Kubayan di Desa Sudaji, Kabupaten Buleleng, tanggal 1 Mei lalu. Kasus kedua adalah kerumunan massa di Kampung Jawa, tepatnya di pertigaan Masjid Baiturahmah, Jalan Ahmad Yani Denpasar pada malam terakhir sahur bulan Ramadan, Sabtu (23/5) pukul 03.00 Wita.
Kasus ini lantas menjadi sorotan berbagai pihak. Lalu apa tanggapan Pakar Hukum Adat sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof Dr Wayan P Windia, soal kasus ini? Berikut hasil wawancara IDN Times tak lama ini: