Pasien Lipoma Meninggal Saat Menjalani Bedah Minor di Pupuan

Tabanan, IDN Times - Komisi I dan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tabanan mengadakan rapat bersama Dinas Kesehatan Tabanan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tabanan, Selasa (1/11/2022). Rapat ini menindaklanjuti informasi mengenai seorang warga di Desa Padangan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan yang meninggal dunia selama proses bedah minor pengangkatan lipoma atau benjolan tumor jinak di bagian kepalanya.
Operasi ini berlangsung di tempat praktik dokter swasta di Kecamatan Pupuan. Komisi I dan IV DPRD Tabanan memanggil pihak-pihak terkait agar menjelaskan permasalahan itu sehingga tidak menimbulkan opini bias, dan membuktikan ada atau tidaknya dugaan malpraktik atau kelalaian dari pihak dokter. Berikut ini hasilnya.
1. Berawal dari laporan adanya pasien yang meninggal dunia selama proses bedah minor di tempat praktik dokter swasta

Anggota Komisi I DPRD Tabanan, I Gede Purnawan, menerima informasi dari suami yang istrinya mendatangi tempat praktik dokter swasta berinisial dr IBS, Sabtu (28/10/2022) lalu, untuk menjalani operasi pengangkatan benjolan di kepala (lipoma).
"Pasien ini usianya sekitar 40 tahunan. Diinformasikan mulai menjalani operasi sekitar jam 17.00 Wita. Kemudian sang suami yang saat itu mengantarkan istri menjalani operasi melihat istrinya kejang dan mulutnya caket (mengatup). Dari perhitungan suaminya, sang istri masuk operasi sampai meninggal itu hanya sekitar 30 menit," ujar anggota dewan asal Kecamatan Pupuan tersebut, Selasa (1/11/2022).
Purnawan lalu mempertanyakan tiga hal dalam kasus ini. Yaitu apakah prosedur tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut sudah benar?; adakah kelalaian yang dilakukan dokter hingga pasien meninggal?; apakah dokter sudah melakukan tindakan emergensi atas kejadian yang menimpa pasien selama peristiwa itu terjadi?
"Sebab ketika saya tanya ke suami, apakah dokter menanyakan mengenai istrinya ada alergi, jawabnya 'tidak ada' ketika ditanya. Tetapi ketika menjalani operasi tiba-tiba istrinya kejang dan mulutnya caket,'' sebut Purnawan.
2. Dokter IBS mengaku telah menanyakan riwayat kesehatan secara langsung kepada pasien

Mendapat pertanyaan itu, dokter yang menangani pasien tersebut, dr IBS, mengaku menerima pasien satu minggu sebelum menjalani operasi, yaitu Sabtu (22/10/2022). Pasien datang ke tempat praktiknya bersama suami, dengan tujuan untuk mengangkat lipoma yang muncul di bagian depan kepala sebelah kiri.
"Hal pertama yang saya tanyakan apakah punya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan). Jika punya, alangkah baiknya jika menjalani operasi ke rumah sakit supaya lebih meringankan biaya," kata dr IBS di tengah rapat.
Namun pihak pasien tetap memilih untuk menjalani pengangkatan benjolan ini ke tempat praktik dr IBS, dan akhirnya dijadwalkan untuk datang, Sabtu (28/10/2022) sekitar pukul 16.00 Wita.
"Sebelum operasi, saya minta pasien untuk membersihkan rambut di sekitar benjolan sehingga nanti gampang dioperasi, dan itu sudah dilakukan pasien," lanjutnya.
Ketika pasien datang ke tempat praktik di hari Sabtu, suami diminta menunggu dan tidak boleh masuk ke ruang operasi karena prosedurnya begitu, kata dr IBS. Sebelum operasi, dr IBS melakukan pemeriksaan fisik seperti mengecek tensinya yang saat itu 130/80 atau normal. Setelah itu ia menanyakan apakah memiliki alergi obat dan gejala sesak.
"Dijawab 'tidak.' Saya kemudian buatkan informed consent," jelas dr IBS.
Setelah melewati prosedur sebelum operasi, pasien kemudian siap menjalani bedah minor. Menurut dr IBS, pada saat menyuntikkan bius lokal, ia tetap mengajak ngobrol pasien agar tidak tegang.
"Ketika saya mulai menorehkan pisau bedah, tiba-tiba napas pasien terdengar berat. Saat itu lipomanya belum berhasil saya keluarkan. Kondisi dahi pasien masih mengeluarkan darah. Ketika saya tanya lagi, apa pasien pernah menderita sesak sebelumnya, barulah pasien menjawab 'kadang-kadang dokter'," tutur dr IBS.
Saat itu ia menyadari pasiennya mengalami gejala syok anafilaksis. Ia berusaha menghentikan pendarahan di dahi pasien sambil meminta bantuan suami pasien, dan juga melakukan panggilan untuk dibawakan ambulans ke tempat praktiknya. Pasien kemudian dilarikan ke Puskesmas Pupuan 1. Selama di ambulans, pihak dr IBS memberikan penanganan darurat. Begitu sampai di Puskesmas Pupuan 1, pasien diberikan penanganan namun meninggal dunia sekitar pukul 18.00 Wita.
3. Dokter sudah menjalani penanganan sesuai SOP

Menanggani laporan ini, Dinas Kesehatan Tabanan melakukan klarifikasi dan diskusi bersama pihak IDI. Kepala Dinas Kesehatan Tabanan, dr Nyoman Susila, mengatakan hal pertama yang diklarifikasi adalah apakah dokter sudah memiliki regulasi yang memadai atau tidak.
"Pertama izin praktik, ada. Kompetensi dan pelatihan melakukan tindakan bedah minor juga ada. Memiliki kompetensi dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan juga ada. Melakukan informed consent yang disetujui pasien juga sudah," sebut Susila.
Ia menilai dr IBS juga sudah sangat cepat dalam melakukan tindakan penanganan syok anafilaksis atau syok yang disebabkan oleh reaksi alergi yang berat.
"Sementara ini syok anafilaksis yang dialami pasien ini dari obat bius," terangnya.
Dari informasi juga ditemukan adanya ketidakjujuran pasien ketika ditanya tentang gejala sesak napas. Berkaca dari kasus ini, pihaknya akan lebih menekankan para dokter agar melakukan pemeriksaan riwayat kesehatan pasien secara detail.
"Jika pasien jujur, tentu tindakan yang diambil dokter bisa berbeda," kata Susila.
Ketua IDI Tabanan, dr Ida Bagus Tatwa Yatindra SpU, menambahkan hal yang menimpa pasien dari hasil klarifikasi ini bukanlah malpraktik. Karena semua prosedur sudah dilaksanakan oleh dr IBS dengan baik mulai dari surat izin praktik, kompetensi yang bisa dilakukan dokter umum, melakukan anamnesa (kegiatan wawancara antara pasien/keluarga pasien dan dokter/tenaga kesehatan lain yang berwenang untuk memperoleh keterangan tentang keluhan hingga riwayat penyakit yang diderita oleh pasien).
Dari kejadian ini, ia pun menekankan jika dalam menjalani anamnesa, pasien harus jujur pada dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Anamnesa sangat penting untuk membantu dokter mengambil tindakan yang tepat untuk pasien," sebutnya.
4. Dewan berharap Dinas Kesehatan Tabanan turun langsung memberikan penjelasan

Ketua Komisi IV DPRD Tabanan, I Gusti Komang Wastana, berujar tujuan rapat yang digelar, Selasa (1/11/2022), ini untuk meluruskan informasi bias yang muncul di masyarakat.
"Berbagai isu muncul mulai dari dugaan malpraktik hingga isu kelalaian dokter. Isu inilah kita luruskan sekaligus mengambil langkah ke depan agar persoalan yang sama tidak terulang kembali," kata Wastana.
Dari kejadian ini, hal yang paling penting adalah dokter harus melakukan pemeriksaan secara detail, dan ada surat persetujuan yang ditandatangani oleh pasien.
"Dari kasus ini diketahui jika ada ketidakjujuran pasien terhadap riwayat penyakitnya. Ini bisa dijadikan pembelajaran ke depan, agar dokter bisa melakukan pemeriksaan yang lebih detail dan adanya surat pernyataan yang disetujui pasien," lanjutnya.
Ia juga mendorong Dinas kesehatan Tabanan untuk memberikan penjelasan detail secara langsung ke Desa Padangan kepada aparat setempat dan keluarga pasien.
"Buka semuanya sehingga di masyarakat tidak muncul stigma dan ketakutan, menganggap pelayanan kesehatan tidak bagus."