Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game Online

Bisakah kini anak-anak kembali bebas bermain di alam?

Denpasar, IDNTimes - Di tengah arus digitalisasi yang semakin kuat, ragam permainan tradisional kini nyaris ditinggalkan oleh anak-anak, seperti gobak sodor, petak umpet, egrang, congklak, dan lainnya. Padahal ada banyak manfaat yang bisa didapat dari permainan tradisional. Jauh sebelum ada gawai, anak-anak menghabiskan waktu bersama temannya dengan memainkan permainan tradisional di ruang-ruang terbuka.

Generasi baby boomer (1946 - 1964) dan generasi X (1965 - 1980) termasuk yang paling mengenal permainan tradisional. Mereka tumbuh ketika teknologi berbasis gawai di genggaman belum menguasai berbagai gerak.

Seorang warga Denpasar, Yudha Maruta (44), mengungkapkan saat dulu ia masih kecil, sering bermain pistol-pistolan dari pelepah pisang. Selain itu, Yudha yang dibesarkan di Kelurahan Penarukan, Kabupaten Buleleng ini juga bermain ting atau lampu dari kaleng bekas, dan mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali. 

“Jadi (sekarang) kurang ada rasa kebersamaan. Kurang ada rasa kompetisi di sana. Terus kerja sama sesama anak-anak ini kurang juga. Jadi dampaknya ke sifat sosialisasi mereka mungkin beda sama yang dulu,” ungkapnya.

Maestro tradisi lisan yang bertahun-tahun melestarikan permainan tradisional, Made Taro (81), menyampaikan bahwa teridentifikasi ada 200 jenis permainan tradisional di Bali. Jumlah tersebut berdasarkan data yang ia kumpulkan sejak tahun 1973 hingga saat ini. Hanya saja dari keseluruhan permainan tersebut, ternyata sebagian besar sudah mati suri.

Bagaimana dengan daerah lainnya di Indonesia? Apakah mengalami hal serupa dengan Bali? Akankah permainan tradisional ini benar-benar punah atau ada cara lain untuk menghidupkannya kembali? Berikut liputan IDN Times di berbagai daerah di tanah air. 

1. Permainan megandu di Tabanan mulai dihidupkan kembali

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game Onlinedisbud.tabanankab.go.id

Masyarakat di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan memiliki permainan tradisional megandu yang kini nyaris punah. Sejumlah orang akhirnya berhasil menghidupkan kembali permainan tersebut dan mulai diperkenalkan kepada generasi muda. 

Permainan megandu ini sudah ada sejak zaman dulu, kala orangtua mengajak anak-anaknya ke sawah untuk menjalankan aktivitas bertani. Sambil membantu orangtuanya di sawah, anak-anak akan bermain menangkap capung, hingga melakukan permainan yang dinamakan megandu. Megandu berasal dari kata gandu, artinya melempar bola yang terbuat dari jerami dan dibentuk seperti telur.

"Megandu adalah permainan lempar-lemparan, dengan menggunakan bola yang dibuat dari jerami atau disebut dengan bola gandu. Arena permainan megandu menggunakan petakan sawah. Biasa dimainkan sehabis panen," ujar Ketua Sanggar Wintang Rare, Wayan Weda, Kamis (3/6/2021) lalu.

Permainan megandu memang pernah ditelan oleh zaman dan nyaris punah. Namun, kata Weda, megandu ditampilkan lagi dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). PKB yang selalu menggelar pesta kesenian setiap tahun membuat jadwal khusus untuk permainan tradisional khas Bali. Sebuah stasiun televisi nasional juga pernah menayangkan permainan megandu dalam tayangan Festival Anak Bali sekitar tahun 2012. 

Penggarap tarinya adalah seorang seniman asal Tabanan bernama Ni Luh Nyoman Sri Suryati, dan musik iringannya diciptakan oleh seniman I Wayan Muder. Dalam penyajiannya, tari megandu menggunakan iringan gamelan gong kebyar yang didukung oleh Sekaa Gong Kebyar Anak-anak Pucil Makembang dari banjar setempat.

Permainan megandu juga menjadi trademark ketika Sangar Buratwangi dan Sanggar Wintang Rare menggelar Festival Ke Uma pada tahun 2017.

I Nyoman Budarsana dari Sanggar Buratwangi menjelaskan megandu diawali dari membuat bola mirip telur elang dari bahan sumi (Jerami). Masing-masing anak wajib menyetor satu bola. Setelah itu baru menentukan satu anak sebagai pencari dengan cara jamprit atau sut. Setelah mendapat siapa pencarinya, maka ia harus menancapkan sebatang kayu di tengah sawah lalu dipegang. Batang kayu tersebut terdapat ikatan tali guntung (Tali dari pelepah kelapa) di bagian ujung atasnya.

2. Anak-anak di Klungkung tak lagi bermain megala-gala

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game OnlineDok.IDN Times/Pemkab Klungkung

Sementara di Kabupaten Klungkung, seorang warga Desa Sampalan, Wayan Gatra (45), menyampaikan ada beberapa permainan tradisional yang sangat digemari anak-anak pada masa dulu, salah satunya adalah metembing. Permainan olahraga ini yaitu memasukkan koin ke dalam lubang tanah. Para pemain harus mengundi dulu dengan cara melemparkan koin ke lubang tersebut dalam jarak tertentu. Pemain yang berhasil memasukkan atau setidaknya mendekati lubang tersebut, maka dia bermain lebih dulu.

Pemain pertama harus melemparkan beberapa koin ke dalam lubang. Apabila tidak berhasil masuk, pemain lain menunjuk satu koin tersebut dan pemain pertama harus melempar koinnya hingga mengenai koin yang ditunjuk. Kalau tidak terkena, maka harus bergantian dengan pemain lain lalu melakukan cara serupa. Permainan ini dinilainya dapat melatih ketangkasan dan akurasi lemparan para pemain.

"Sekarang hampir tidak ada lagi anak-anak yang bermain tembing di lingkungan saya," ujarnya pada Jumat (4/6/2021).

Warga lain, Putu Yasa (36), juga mengungkapkan hal serupa. Dulu ia sering bermain megala-gala, permainan tradisional yang dilakukan beberapa orang untuk melewati rintangan. Kalau di Jawa, permainan ini disebut gobak sodor. "Dulu setiap pulang sekolah, pasti bermain megala-gala. Sekarang sudah jarang, bahkan hampir punah," ungkapnya.

Tak hanya megala-gala saja, ada pula meong-meongan, kelereng, dan bola bekel yang kerap menjadi permainan anak-anak era 90an, juga sudah jarang dimainkan. "Permainan kelereng, bola bekel yang sering dimainkan anak-anak era 90an saja sudah jarang dimainkan. Apalagi yang era sebelumnya, seperti megala-gala. Zaman terus berubah, dan kita harus sadari permainan masa kita dulu, sangat berbeda dengan masa saat ini."

Lulusan Ilmu Kajian Budaya di Universitas Udayana (Unud) ini mengungkapkan bahwa pergeseran aktivitas anak-anak yang mulai meninggalkan permainan tradisional harus menjadi perhatian serius. Menurutnya, meninggalkan permainan tradisional sama halnya dengan meninggalkan permainan yang menyehatkan.

"Permainan anak-anak dulu kebanyakan olah fisik, yang tentu menyenangkan dan menyehatkan," katanya.

Hal ini berbeda dari anak-anak zaman sekarang yang hanya gemar bermain di smartphone. Selain minim olah fisik, mata menjadi rentan lelah dan mengalami gangguan apabila keseringan melihat layar smartphone.

"Meskipun ada e-sport, tapi memang main smartphone minim olah fisik. Walau tidak semua, tapi kebanyakan sekarang anak-anak berjam-jam bermain game online. Ini tidak bagus juga. Harus seimbanglah dengan olah fisik," jelasnya.

Ia menilai fenomena masyarakat yang seperti itu akan sulit diubah. Maka jalan satu-satunya adalah lembaga pendidikan dituntut aktif untuk menghadirkan permainan tradisional di sekolah. Kalau masuk ke dalam kurikulum, permainan tradisional tersebut akan selalu lestari. 

3. Anak-anak tak bisa lagi main bentik, tanah lapang berubah jadi hunian padat

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game OnlineMainan gasingan juga nyaris punah di Semarang. IDN Times/Instagram Hompimpa.smg

Berdasarkan catatan Komunitas Kampoeng Hompimpa Semarang, ragam mainan jadul saat ini cenderung ditinggalkan oleh anak-anak lantaran tanah lapang di area perkotaan yang semakin sempit. 

"Karena tanah lapangnya yang semakin sedikit, maka anak-anak zaman sekarang gak bisa lagi main bentik, gak bisa main engklek, gobak sodor dan lompat tali," ujar Ahmad Misbaqul Munir, Pengurus Komunitas Kampoeng Hompimpa, ketika berbincang dengan IDN Times melalui sambungan telepon, Jumat pagi (4/6/2021). 

Munir mengatakan dengan memainkan mainan jadul, paling tidak bisa meningkatkan interaksi anak-anak dengan temannya. Lalu mainan jadul yang menonjolkan gerak fisik juga punya manfaat yang bagus untuk motorik anak-anak. 

"Dengan anak-anak main dakon, dia kan bisa belajar hitung angka. Karena kecik yang diletakkan di cawan dakon jumlahnya beda-beda tergantung yang memainkannya. Lalu banyak juga kayak halma, ular tangga, main kelereng, engklek, gasing, egrang juga melatih ketangkasan. Jadi memang efeknya sangat positif buat tumbuh kembang anak. Banyak positifnya ketimbang anak sekarang yang sukanya mainan handphone. Itu malah dampaknya sangat individualistik, anti sosial dan parahnya banyak yang sudah kecanduan," ujarnya. 

Ia dan teman-temanya di Komunitas Hompimpa sejak empat tahun terakhir juga getol mengedukasi masyarakat Semarang untuk membumikan kembali ragam mainan yang pernah ngetop di zaman dulu. 

Komunitas Hompimpa kerap menyambangi lokasi CFD di Simpang Lima sembari menunjukan berbagai jenis mainan jadul. Mulai halma, egrang, lompat tali, kelereng hingga dakon dan ular tangga. 

"Sebelum pandemik kita rutin ke CFD, ngajakin anak-anak main, ngenalin mainan tradisional. Dan kita juga jual alat mainnya supaya bisa dimainkan di rumah. Tapi pas pandemik kita vakum dulu untuk menghindari potensi kerumunan," ucapnya. 

4. Dulu setiap sore sering bermain voli dan kelereng

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game OnlinePixabay.com/Regenwolke0

Lalu bagaimana dengan permainan tradisional di Makassar, Sulawesi Selatan? Makassar memiliki permainan dende, enggo-enggo, gebo', lojo-lojo', engrang, dan masih banyak lainnya. Hanya saja keberadaannya kian hari kian tergeser. Selain karena hadirnya gawai yang menjadi keniscayaan zaman, juga karena ruang bermain anak-anak kian hari juga berkurang lantaran pembangunan yang menutupi tanah-tanah lapang.

"Permainan tradisional ini sudah banyak dilupakan. Dulu kita selalu main karet, main enggo-enggo (main petak umpet). Tapi sekarang tidak ada lagi begitu," kata Maryam (46) kepada IDN Times saat ditemui di rumahnya di Jalan Ance Dg Ngoyo, Jumat (4/6/2021).

Ibu empat anak ini mengaku kerap kesal dengan anak-anaknya yang sering bermain game online di ponselnya. Dia merasa anak-anaknya jadi malas belajar jika sudah asyik bermain game.

Kamba (53) juga merasakan hal serupa. Dia yang tumbuh besar di Makassar mengaku tahu betul bagaimana perkembangan kota ini, termasuk saat permainan tradisional perlahan mulai hilang. "Dulu kita kalau sore-sore sudah main voli sama teman-teman atau main kelereng. Pasti ramai. Sekarang tidak ada lagi begitu," katanya.

Namun dia tak ingin membandingkan zamannya dengan zaman sekarang. Menurutnya, semua zaman pasti berbeda antara satu dengan lainnya. Zaman sekarang sudah jauh lebih maju dibandingkan dulu.

"Kalau dulu kita mau main gampang, banyak lapangan tanah kosong. Sekarang anak-anak mau main susah karena mau main di mana. Jadi pasti lebih pilih main game online di HP," katanya.

Sebagai anak yang lahir di zaman sekarang, Aldi (12), mengaku memang lebih senang bermain game online di ponsel pintarnya bersama teman-temannya. Sebenarnya dulu mereka biasa bermain gebo dan sejenisnya. Sayangnya, mereka kerap dianggap ribut sehingga mengganggu tetangga sekitar rumahnya.

"Lebih suka main game online. Lebih seru dan lebih canggih. Kita juga tidak perlu main ke luar rumah," katanya.

5. Permainan Gogolekan Kembang Sepatu di Jawa Barat tinggal kenangan

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game OnlinePexels/Nitin Dhumal

Peneliti permainan tradisional, Dr. Mohamad Zaini Alif, mengatakan permainan tradisional yang jarang dimainkan selama ini termasuk di tengah pandemik membuat banyak permainan tersebut punah karena terlupakan. Selain itu, tidak adanya bahan baku dan tempat untuk bermain juga menjadi persoalan.

"Kalau sekarang hanya ada sekitar 340 (permainan tradisional) yang ada. Kalau yang menghilang dan gak masuk angkanya sudah puluhan," kata Zaini saat dihubungi, Minggu (6/6/2021).

Dia mencontohkan, salah satu permainan tradisional di Jawa Barat yang menghilang adalah Gogolekan Kembang Sepatu. Dulu tanaman kembang sepatu ada di pedesaan maupun perkotaan. Dari tanaman ini para anak lelaki memainkan gogolekan. Sedangkan anak perempuan membuat miminyakan dengan menumbuk tanaman kembang sepatu tersebut.

Sekarang di kota sudah sangat jarang sekali tanaman ini. Di rumah warga juga kembang sepatu diganti dengan janda bolong atau tanaman hias lain yang harganya selangit. "Bagaimana mau dipangkas daunnya. Kan tanaman seperti ini ga bisa dimainkan," ujar Zaini.

Kemudian ada permainan gatrik dan galah asin. Permainan tradisional ini memerlukan lahan yang cukup besar karena biasa dimainkan di lapangan. Sekarang di perkotaan ada lahan sedikit sudah dijadikan lahan parkir atau tempat bermain berbayar.

"Jadi permasalahannya memang daya dukung untuk permainan tradisional ini juga ga ada," kata dia. Ketika bermain di luar rumah, banyak orangtua juga takut anaknya kepanasan, kehujanan, kotor, atau sakit. Mereka terlalu takut sehingga tidak membiarkan anak bermain di luar rumah khususnya ketika memainkan permainan tradisional.

Zaini mengatakan, dia telah melakukan komunikasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar permainan tradisonal bisa mainkan di sekolahan. Namun bukan dalam bentuk kurikulum melainkan jadi alat pembantu pembelajaran.

Sedangkan di tingkat pemerintah daerah, Zaini tengah mengusahakan agar permainan tradisional bisa dimainkan dalam pekan kebudayaan daerah (PKD) maupun tingkat nasional. Lewat kegiatan ini anak sekolah bisa didorong bermain hingga nantinya semakin banyak anak mengenal apa saja permainan tradisional yang ada di daerahnya. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, sedikitnya ada 200 permainan tradisional terancam punah. 

Saat ini masih ada beberapa permainan tradisional khas Sunda yang bisa dihidupkan kembali dan dikenalkan kepada anak-anak, di antaranya tokecang atau lebih disebut sebagai tokek makan kacang adalah permainan yang populer di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Cara memainkan Tokecang cukup mudah, yaitu setiap orang harus saling berhadap-hadapan dengan berpasang-pasangan sambil berpegangan tangan. Biar tambah seru, menyanyikan tokecang adalah tradisi yang pantang untuk dilewatkan. Tujuannya agar menghilangkan rasa bosan sekaligus relaksasi pikiran dari aktivitas yang padat.

Ada pula pepeletokan. Bagi anak laki-laki, bermain pepeletokan mungkin hal yang wajib. Permainan ini cukup menarik karena akan merasakan perang-perangan. Senjata yang terbuat dari batangan bambu ini sangat familiar di kalangan anak-anak. Mereka biasanya memainkan pepeletokan di saat menjelang magrib. Bunyinya yang meletup serta pelurunya berbahan dasar adonan kertas atau biji jambu menggambarkan ciri khas pepeletokan.

Permainan yang tidak kalah seru adalah paciwit-ciwit lutung. Anak jaman sekarang tidak banyak yang mengetahui permainan paciwit-ciwit lutung. Permainan ini menjadi salah satu yang paling unik di antara permainan lainnya. Mencubit tangan teman dari bawah hingga ke atas adalah ciri khas dari paciwit-ciwit lutung yang sesungguhnya. Manfaat dari paciwit-ciwit lutung adalah kamu merasakan bagaimana hidup berada di atas sebagai orang sukses dan berada di bawah sebagai orang yang baru merintis karier. 

6. Sulitnya cari bambu, permainan baladuman di Kalimantan Timur tak ada lagi

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game Onlinepixabay

“Benar saat ini sejumlah permainan tradisional di Kalimantan Timur (Kaltim) dan secara khusus di Samarinda saat ini sulit ditemukan eksistensinya, kalau tidak mau disebut hampir punah atau bahkan sudah benar-benar punah,” ujar Muhammad Sarip, Sejarawan Lokal Samarinda saat dikonfirmasi pada Jumat (4/6/2021).

Dari catatan Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, setidaknya ada 15 jenis permainan tradisional di Benua Etam yang mulai hilang tak dikenal. Misalnya begasing, paku lele, engrang, main kelereng, asinan, lompat tali, asinan/asin naga, petak umpet, telepon kaleng, cangklok, ular naga, bekel, sentokan, meriam bambu, dan cina boy.

Sementara dari informasi yang dihimpun Sarip, permainan tradisional yang nyaris tak pernah dimainkan oleh anak-anak, di antaranya ada balogo, bapedak, babenteh, basumpitan, benteng, ajakan tukup, hingga dakuan. “Kecanggihan teknologi memalingkan anak-anak generasi z dan alfa kepada game berbasis elektronik, digital dan virtual,” imbuh alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemendikbud 2020 itu.

Tak hanya itu, lebih lanjut dia menyatakan, ada juga permainan tradisional yang punah karena kelangkaan atau hilangnya material alat permainan. Misalnya, baladuman. Permainan meriam bambu ini tidak bisa lagi dipraktikkan karena dua komponennya mulai sukar didapat yakni bambu dan minyak tanah.

Kalaupun bambu bisa dicari ke pedalaman, tapi minyak tanah siapa yang jual? Tanur minyak tanah sudah tergantikan oleh kompor gas. Begitu pula permainan batembakan dan basumpitan yang menggunakan bambu sebagai senapan angin dan sumpit.

“Barangkali senapan mainan modern lebih menarik dan praktis bagi anak masa kini,” katanya.

Sarip menambahkan, permainan tradisional hanya akan lestari dalam wujud cerita teks di pustaka cetak, rekaman visual rekonstruksinya, dan/atau koleksi benda peninggalannya di museum. Sebagaimana halnya tarian dan kesenian khas daerah, permainan tradisional bisa dilestarikan. Satu di antara caranya ialah instansi pendidikan tingkat kota dan tingkat provinsi berbuat sesuatu.

7. Nyumput sarung hingga pencak khakot pernah populer di Lampung

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game Onlinehttps://www.youtube.com/channel/UCzj_9CTMKvwNMxKt7g_5e6g

Tak jauh berbeda dengan Kalimantan Timur, Provinsi Lampung juga memiliki segudang permainan tradisional, seperti nyumput sarung (sembunyi dalam sarung), lempar selop (lempar sendal), dan ngakuk wai (ngambil air pakai tabuw/buah maja). Selain itu, ada juga bledukan/jeduman, kucing buta, sasego'an (sumput-sumputan), pencak khakot, dan lain-lain. 

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Pesawaran, Elsyafri Fahriza, mengatakan tingginya kecenderungan penggunaan gawai atau smartphone di tengah masyarakat, termasuk pada anak-anak merupakan hal tak terbantahkan.

Meski pencak khakot merupakan permainan bersifat olahraga dan seni bela diri, namun asli berasal dari Desa Kedondong, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

"Ini sesuatu yang tidak bisa kita tolak, tapi tentunya bagaimana kita harus merubah yang sifatnya sekedar permainan justru menjadi produktif," ujar Elsyafri, pada IDN Times, Jumat (4/6/2021).

Elsyafri menyebut, Pemkab Pesawaran tidak hanya melakukan pelestarian, tapi ikut mengajak pegiatnya berpartisipasi dalam hal produktifitas. "Kita bahkan sudah buat film (Film Hikayat Pendekar Khakot) dan menang di salah satu festival Amerika," terangnya.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lampung, Aryanto Werta mengatakan, pihaknya juga telah menggalakkan program permainan tradisional sejak penghujung tahun lalu. "Kami juga mendorong pemerintah daerah, untuk menjadikan langkah permainan tradisional sebagai ekstrakurikuler di sekolah-sekolah se-Provinsi Lampung, atau perlombaan yang intens dilakuan," pungkasnya.

Atas terwujud program itu, Aryanto berharap ketertarikan kepada permainan tradisional di tengah anak-anak dapat kembali tumbuh dan terhindar dari ketergantungan game online.

"Harus kita akui, game online juga memberikan dampak buruk baik pada perkembangan syaraf hingga tumbuh kembang di lingkungan sekitar," ucapnya.

8. Dampu dan bebentengan hanya ada di ingatan millennial Banten

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game OnlineIlustrasi permainan tradisional. ANTARA FOTO/Akbar Tado

Millennials di Banten, Syafa Rizkita (13) mengaku pernah bermain permainan tradisional semasa taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah dasar (SD). Namun, semenjak lulus SD sudah tidak lagi memainkan permainan serupa.

"Pernah tahu dan pernah main, tapi sampai SD saja, sekarang sudah tidak pernah," ujar Syafa, Minggu (6/5/2021).

Syafa mengatakan, dahulu dia pernah bermain dampu dan bebentengan. Kala itu, dia bermain bersama teman sebaya atau yang satu tingkat lebih tua darinya. "Biasanya main di sekolah, atau saat pulang sekolah," kata Syafa.

Syafa mengungkapkan, untuk saat ini, kondisi lingkungan tak lagi sama seperti saat ia masih duduk di bangku TK dan SD. Pasalnya, sudah tidak ada lagi lahan yang bisa digunakan anak-anak untuk bermain. "Dulu mah banyak lapangan, sekarang udah jadi rumah semua," jelasnya.

Selain Syafa, Aufa Nabila (9) yang masih duduk di bangku SD pun saat ini sulit memainkan permainan tradisional. Pasalnya, dia tidak menemukan teman bermain yang membutuhkan waktu senggang tersebut.

"Sebenarnya mau, tapi engga ada temen yang mau, karena kan harus ramai-ramai baru bisa main," ungkap Aufa.

Aufa mengungkapkan, sebelum pandemik COVID-19, dia dan teman-temannya masih dapat bermain permainan tradisional seperti lompat karet, bola bekel dan dampu di sekolah. Namun usai pandemik dirinya sulit meminta izin bermain kepada orangtuanya.

"Jadi ya paling kita main game online aja lewat HP (handphone), jadi main barengnya lewat situ karena ga diizinin juga kalau keluar rumah sama orangtua," jelasnya.

9. Ada tiga tahap untuk melestarikan permainan tradisional

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game OnlineIDN Times/febriana sinta

Apa yang dirasakan Syafa dan Aufa, juga dialami Helena, murid kelas 6 SD di Prambanan yang harus berpisah dengan teman-teman sekelasnya. Ditemui di teras rumahnya, anak perempuan dengan wajah oval dan rambut berombak ini hanya bermain masak-masakan dan boneka seorang diri. 

"Dulu sebelum lulus dan pandemik, beberapa teman sekolah datang ke rumah. Bermain petak umpet, yeye (lompat tali) dan sudamanda (engklek)," ucapnya kepada IDN Times, Minggu (6/6/2021).

Tak lagi bermain dolanan tradisional juga dialami oleh Mentari. Murid sekolah menengah di daerah Kalasan ini, mengungkapkan sudah sejak lama tak lagi memegang mainan yang sering dilakukannya di masa kecil. 

Menurutnya pelajaran di sekolahnya sejak kelas 3 hingga 7 saat ini tak ada yang mengupas tentang permainan tradisional. "Dulu sering main bekel dan dakon. Tapi sudah lama banget itu, terakhir kelas 2 SD," ujar Mentari. 

Pelajaran dan tugas yang menumpuk ditambah banyaknya ujian, menjadikan remaja 13 tahun ini semakin jauh dari permainan tradisional. Menyikapi kondisi ini, pemerhati dolanan tradisional anak di Yogyakarta, Isa Prasetyo, bersama teman-temannya membentuk kelompok Dolanan Anak Jogja (DAJ). Berbagai acara digelar untuk mendekatkan permainan kepada anak dan keluarga. 

"Pada waktu itu banyak yang akhirnya sadar oh, iya ya kalau ini hilang terus bagaimana. Kami mulai gencar untuk lebih mengenalkan dolanan anak agar tidak hilang. Berbagai pertemuan fisik membantu kami untuk terus melakukannya," ujarnya Sabtu (5/6/2021). 

Guru SMP Mangunan ini menyatakan terdapat tiga tahap untuk melestarikan permainan tradisional. Yang pertama adalah mengenal, menyentuh, dan terakhir adalah bermain bersama. Isa mencemaskan saat ini anak tak bisa berada dalam tahap menyentuh dan bermain bersama. 

Disinggung tentang permainan tradisional apakah bisa dimasukkan di aplikasi smatphone, menurutnya hal tersebut tak bisa lakukan. Proses menyentuh langsung benda atau alat permainan tak bisa dilakukan. 

"Kami belum ke arah aplikasi, takutnya mereka (anak-anak) akan kehilangan level kedua tadi yaitu bersentuhan tadi. Tapi jika tentang bagaimana membuat atau tutorialnya gak apa-apa dibuat. Jadi proses bersentuh atau menyentuh itu tidak akan tergantikan," ujar Isa.

10. Muncul ide permainan tradisional dijadikan aplikasi di android

Ratusan Permainan Tradisional Tinggal Kenangan, Digantikan Game OnlineIlustrasi Game (IDN Times/Mardya Shakti)

Kondisi serupa tak terkecuali terjadi di wilayah Kabupaten Madiun. Egrang, petak umpet, enthek, gobak sodor, nekeran (main kelereng), dam-daman, dan sebagainya menjadi permainan langka.

"Semakin ditinggalkan sejak smartphone banyak digunakan, termasuk oleh anak-anak. Berlangsungnya sekitar 4 – 5 tahun terakhir," ujar Kepala Seksi Sejarah, Tradisi, dan Cagar Budaya, Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Madiun, Sugina, Jumat (4/6/2021).

Pihak Dikbud setempat berupaya melakukan sejumlah kegiatan untuk mempertahankan permainan tradisional. Salah satunya mengoordinir guru-guru mata pelajaran olahraga untuk mengajarkan olahraga tradisional di sekolah, seperti pencak silat, terompah panjang, egrang, dan gobak sodor.

Namun, upaya itu terkendala ketika pembelajaran tatap muka tak lagi dijalankan sebagai dampak pandemik COVID-19. Upaya lain yang dilakukan dengan menggandeng pelaku desa wisata. Setidaknya dua pengelola desa wisata telah berencana menyediakan fasilitas permainan tradisional. "Kami juga memiliki ide agar permainan tradisional dijadikan aplikasi di android yang dapat dimainkan secara online," ujar Sugina.

Tim penulis: Ayu Afria Ulita Ermalia, Wayan Antara, Ni Ketut Wira Sanjiwani, Fariz Fardianto, Ashrawi Muin, Debbie Sutrisno, Yuda Almerio, Tama Wiguna, Nofika Dian Nugroho, Maya Aulia Aprilianti, Febriana Sintasari

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya