Foto hanya ilustrasi. (IDN Times/Rehuel Willy Aditama)
Made Taro telah menggeluti permainan anak sejak tahun 1973. Awalnya, rasa kepeduliannya justru mendapat respons sinis dari berbagai pihak. Bahkan ia disebut kuno. Namun baginya permainan tradisional ini tidak akan pernah mati. Hanya saja memang saat ini banyak permainan tradisional tersebut telah mati suri.
Ia mencari permainan tradisional hingga ke pelosok-pelosok desa di Bali, lalu bertanya kepada orang-orang tua terkait dengan pengalamannya saat mereka masih kecil. Cerita tersebut kemudian ia kumpulkan dan hingga kini, dari tahun 1973, jumlahnya sekitar 200-an jenis.
“Bagi saya tidak mati. Tapi mati suri. Bisa dihidupkan lagi ya. Saya dapati permainan tradisional mati suri. Tidak mati. Karena ternyata banyak yang bisa saya hidupkan,” jelasnya.
Permainan tersebut, ia akui, sebagian besar sering dipentaskan di sejumlah pagelaran kesenian, dari Pesta Kesenian Bali (PKB) hingga ulang Tahun Kota Denpasar. Selain itu, ia juga mengajarkan permainan tradisional kepada guru-guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga guru-guru Sekolah Dasar (SD). Bahkan menurutnya keberadaan permainan tradisional saat ini sudah merata di seluruh Bali.
Apa manfaat yang didapatkan dari permainan tradisional ini? Menurutnya tidak lain adalah melatih aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
“Sebenarnya permainan tradisional itu tertantang untuk anak-anak yang keranjingan gadget. Sebab keranjingan gadget itu mendidik anak itu menjadi individual, menjadi konsumtif. Sedangkan permainan tradisional, dia punya pergaulan yang luas, pendidikan demokrasi, dan sebagainya. Anak itu menjadi produktif,” jelasnya.