Prosesi dalam Maulid Adat Bayan di Lombok Utara (https://www.wisatadilombok.com/)
Keberadaan masyarakat adat Desa Bayan diyakini sebagai peradaban agama Islam pertama di Pulau Lombok. Hal itu terbukti dari keberadaan Masjid Kuno yang terletak di Desa Bayan Beleq, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Awal mula pembangunan Masjid Kuno itu pun menyimpan banyak sejarah. Masjid yang diyakini sudah berdiri sekitar 300 tahun lalu itu mulai melahirkan banyak budaya adat istiadat yang terus dilestarikan oleh masyarakat adat di Desa Bayan. Salah satunya ialah adanya Wetu Telu. Selain itu, masyarakat adat juga secara bersama-sama menggarap tanah ulayat.
Sejak awal didirikan, masjid kuno di Desa Bayan Beleq menyimpan sejarah dan budaya yang melekat di tengah masyarakat adat Bayan itu sendiri. Tercatat sebagai masjid tertua di Lombok yang diperkirakan berdiri setelah Raja Lombok, yang berkedudukan di Teluk Lombok, menerima Islam sebagai agama kerajaan. Ajaran agama Islam mulai dikembangkan ke seluruh wilayah kerajaan tetangga, seperti ke daerah Langko, Pejanggik, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong, dan Sasak.
Adat dan budaya itu kini menemukan sejumlah tantangan. Masyarakat adat Bayan terus berusaha melestarikan adat istiadat itu di tengah perkembangan zaman yang kian modern.
Menurut masyarakat adat Desa Bayan yang bermukim di Desa Anyar, Kecamatan Bayan, Atriadi (25), Masjid Kuno Bayan Beleq adalah peninggalan terpenting yang dapat dijadikan sebagai bukti peradaban penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.
Sebelumnya, masyarakat yang tinggal di Desa Bayan memiliki paham animisme dan dinamisme. Sejak kemunculan itulah pola dan budaya masyarakat adat Bayan terbentuk dalam adat istiadat bernama Wetu Telu (tiga waktu) manusia.
“Jelas dalam perayaan budaya Wetu Telu itu banyak perubahan dari masa ke masa,” jelas Atriadi, Minggu (10/4/2022).
Beberapa akulturasi dari perayaan budaya Wetu Telu sendiri dirangkai dalam beberapa pelaksanaan adat istiadat. Dalam sejarah lahirnya adat istiadat di tengah masyarakat adat Bayan, pemaknaan Wetu Telu sendiri terus berkembang.
Atriadi mengulas beberapa rangkaian acara cara menghargai kehidupan manusia berdasarkan tiga rangkaian dalam wetu telu dapat dibagi dalam tiga fase. Pertama ialah merayakan kelahiran manusia. Kedua merayakan kehidupan manusia dan perkembangan, dan fase ketiga adalah merayakan kematian manusia itu sendiri.
“Nah, masing-masing fase ini manusia akan menemukan pola dan bentuk kehidupan yang baru dari fase sebelumnya. Nah inilah yang banyak dirayakan dalam bentuk adat istiadat di tengah masyarakat Bayan,” jelasnya.
Atriadi tak menampik adanya pergeseran budaya pada setiap perayaan ritual keagamaan di tengah masyarakat adat Wetu Telu Desa Bayan Lombok Utara.
Salah satu pergeseran yang mulai tampak akhir-akhir ini kata Atriadi orang-orang yang boleh masuk masjid Kuno Bayan Beleq itu bukan lagi orang-orang yang dulunya dari keturunan orang ternama yang lahir di Desa Bayan.
“Kalau dulunya masyarakat adat melarang orang masuk ke dalam masjid kuno. Karena itu hanya untuk ritual ketika merayakan hari-hari besar seperti Maulid adat Desa Bayan,” katanya.
Perkembangan zaman pun mengubah pola kehidupan masyarakat adat Bayan akhir-akhir ini. Positifnya, kehidupan masyarakat adat lebih menyesuaikan seiring perubahan zaman. Misalnya, dari keperluan kelengkapan ketika acara perayaan upacara mate (mati) ketika proses pembuatan kurung batang atau keranda. Biasanya, tali pengikat keranda mayat menggunakan benang khusus yang dibuat oleh masyarakat adat.
“Tapi untuk memudahkan sekarang boleh pakai tali rafia. Perubahan seperti ini sudah sejak lama terjadi,” katanya.
Kemudian para acara pemandian jenazah ketika upacara mate, biasanya benda sebagai wadah penampung air pada proses pemandian jenazah itu menggunakan kendi yang dibuat oleh masyarakat adat dari tanah Desa Bayan.
“Nah untuk memudahkan sekarang itu menggunakan ember dari atau wadah lainnya. Jadi hal-hal seperti itu sekarang sudah mulai bergeser pakai plastik, seperti bak dan sejenisnya,” kata Atriadi.
Selama ini aturan pengelolaan tanah pecatu atau tanah Ulayat milik keliang atau kepala Dusun mestinya dikelola oleh masyarakat adat. Dari hasil tanah seluas 400 meter persegi itu digunakan untuk sumbangan hasil pertanian saat upacara keagamaan. Misalnya seperti maulid adat, lebaran adat, serta acara lainnya.
"Pemerintah sudah sudah ada niat untuk ambil bagian di lahan itu. Pemda Lombok Utara mau mengambil tanah ulayat ini dan hasilnya dibagi dengan pemerintah," katanya.
Padahal dalam aturan adat Bayan, tanah Ulayat tersebut semestinya harus dikelola oleh para pemangku adat. Hasil pertanian dari lahan tersebut wajib dibagikan ke semua masyarakat adat Bayan.
"Jadi Pemda sudah mematok tanah ulayat ini. Dulunya hasil panen dari tanah ini dijadikan Pembekal untuk perayaan maulid adat. Tapi 3 tahun terakhir ini sudah dipatok oleh Pemda," beber Atriadi.
Budayawan Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr Lalu Ari Irawan, mengatakan eksistensi masyarakat adat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) semakin lemah. Hal ini disebabkan masyarakat adat banyak kehilangan otoritas yang dimiliki.
Otoritas masyarakat adat banyak yang hilang karena diambilalih oleh pemerintah.
"Sehingga untuk memastikan marwah adat sama atau mendekati kekuatan dulu, agak sulit karena otoritasnya sudah hilang, banyak diambil oleh pemerintah atau lembaga negara," kata Irawan saat berbindang dengan IDN Times di Mataram, Minggu (10/4/2022).
Ia memberikan contoh, dulu peran masyarakat adat terkait dengan tanah ulayat dan warisan sangat kuat. Namun sekarang, peran-peran tersebut sudah banyak yang hilang.
"Itu yang membuat eksistensi masyarakat adat semakin lama semakin lemah posisinya," jelas Irawan.
Irawan mengatakan ada beberapa identitas masyarakat adat yang masih tetap bertahan. Seperti budaya perkawinan adat Suku Sasak yaitu Sorong Serah Ajikrama. Adat istiadat Sorong Serah Ajikrama relatif masih terjaga di etnis Suku Sasak di Pulau Lombok dibandingkan etnis lainnya.
"Adat istiadat Sorong Serah Ajikrama yang paling dominan, membuat adat masih punya nama dan wibawa. Kalau ini hilang maka hilang sudah adat Sasak," katanya.
Pada prinsipnya, menurut Wakil Sekretaris Majelis Adat Sasak (MAS) ini, adat berfungsi untuk mengikat individu yang ada di dalamnya. Ketika daya ikatnya lemah bahkan menghilang, maka tidak ada yang bisa diharapkan lagi ke depan.
Ia melihat, cukup besar potensi suatu identitas adat akan hilang sehingga perlu upaya untuk merekonstruksi atau merevitalisasi kembali identitas adat yang ada di masyarakat. Jangan sampai identitas adat menjadi konsep belaka yang tidak lagi dilihat.
"Karena kalau identitas semakin melemah dan ndak menjadi substansi. Maka ndak ada lagi identitas kultural yang menjadi perekat yang unik dan menjadi kekhasan dalam tatanan sosial," katanya.
Tim penulis: Muhammad Rangga Erfizal, Tama Wiguna, Muhammad Iqbal, Fariz Fardianto, Anggun Puspitoningrum, Mohamad Ulil, Riani Rahayu, Ahmad Viqi, Muhammad Nasir, Wayan Antara