Ilustrasi pedagang minyak goreng curah. (IDN Times/Adeng Bustomi)
Seorang pedagang toko kelontong di Jalan Trengguli, Kecamatan Denpasar Timur, Provinsi Bali, Ni Putu Sinta (30), tidak paham dengan kebijakan pemerintah ini. Ia menilai kebijakannya menyulitkan masyarakat, bahkan hanya sekadar untuk mendapatkan minyak goreng. Ia tegas menyatakan tidak setuju penggunaan KTP hingga aplikasi PeduliLindungi, karena dianggap tidak efektif di masyarakat.
“Kalau aku sih rasanya keberatan dengan kebijakan pemerintah seperti ini. Janganlah bikin ribet masyarakat, terutama emak-emak yang gaptek handphone. Iya kalau orangnya punya handphone, kalau gak gimana? Awalnya beli minyak harus setor KTP, kadang-kadang gak ngerti sama aturan yang dibikin,” katanya.
Seharusnya pemerintah memahami, bahwa tidak semua masyarakatnya mengerti teknologi. Jadi kebijakan ini dinilai hanya menambah keribetan di lapangan. Seandainya pembeli menguasai teknologi, mereka biasanya belanja secara terburu-buru dan tidak sempat mengakses aplikasi. Apabila kebijakan ini jadi diterapkan, tentu akan membuat kewalahan pedagang maupun konsumennya.
“Kalau gitu, ya kemungkinan gak jual minyak curah. Mungkin kalau aku yang full (kerja) di warung, masih bisalah ya. Ini kan ibu yang full di warung dan dia gaptek pula pakai handphone,” ungkapnya.
Pedagang di Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Vivi (38), menilai penerapan ini cukup menyulitkan pembeli dan penjual. Terutama kalau pembelinya lansia yang belum bisa mengoperasikan smartphone.
"Ribet, kalau mereka (pembeli) tidak bawa HP (handphone) terus kita gimana, masak mau nyuruh mereka pulang. Ya kita kan gak dapat pembeli, rugi kita," ujarnya.
Euforia pembeli minyak goreng pun tak seperti dulu. Pembeli minyak goreng cenderung sepi. Kebanyakan yang membeli minyak goreng curah adalah para pedagang, bukan rumah tangga.
"Saiki sepi seng tuku minyak gak koyok mbiyen (sekarang sepi yang beli minyak, tidak seperti dulu). Minyak curah yang beli kebanyakan dari pedagang, kalau kemasan yang beli ibu rumah tangga," katanya.
Sistem jual beli minyak goreng curah menjadi tidak praktis. Dari tingkat konsumen saja, pembeli harus membawa smartphone atau KTP untuk menunjukkan NIK. Lalu pedagangnya, juga harus mencatat NIK konsumen untuk pendataan. Mencatat NIK setiap orang adalah pekerjaan yang melelahkan.
"Ini tambah kerja pedagang saja," keluh Barojah, pedagang sembako di Pasar Kosambi, Provinsi Jawa Barat, Jumat (1/7/2022).
Ribetnya kebijakan ini, membuat Yayah (41 tahun) tidak lagi menghiraukan imbauan dari Pemerintah Pusat. Pedagang di Pasar Kramat, Kota Cirebon, itu merasa kebijakannya tidak efektif diterapkan untuk melayani pelanggan di pasar tradisional. Karena itu, dia lebih memilih melayani pembeli secara manual. Dengan kata lain, tidak akan menggunakan aplikasi PeduliLindungi yang disarankan pemerintah.
"Bukan saja ribet ya, kami menolak sekali kebijakan itu (menggunakan aplikasi PeduliLindungi). Ibu-ibu jarang ada yang mengerti cara mengoperasikannya. Mereka juga jarang bawa HP ke pasar. Kalau ada, itu juga HP jadul (bukan smartphone)," ujar Yayah saat ditemui IDN Times di Pasar Kramat.
Belum apa-apa, pedagang di pasar tradisional Kabupaten Pandeglang sudah diprotes konsumennya ketika melontarkan soal sistem transaksi pembelian minyak goreng curah. Konsumen Endah mengancam tak akan membeli minyak kepadanya. Keberatan dan keluhan itu bisa dimaklumi, karena hampir mayoritas konsumennya gaptek serta tidak memiliki smartphone.
"Kalau ditanya (pembeli) pakai PeduliLindungi, nanti pundung (mengambek) gak beli ke kita. Menjaga konsumen juga, kita mendingan gak pakai," tutur pedagang di Jalan Mengger-Labuan ini, Jumat (1/7/2022).
"Kasian, mereka kan orang kampung semua. Gak pernah ke mal, juga ya gak punya aplikasi PeduliLindungi," lanjutnya.
Sejauh ini, penjual atau pengecer di Pandeglang terdaftar dalam program SIMIRAH. Program ini saja, kata Endah, belum ada sosialisasinya karena banyak pedagang yang tidak paham.
"Sampai saat ini belum ada sosialisasi dari dinas perdagangan," katanya.
Kendati demikian, dia telah menerapkan sistem penjualan menggunakan KTP bagi konsumen yang membeli di atas 2 liter. Meskipun masih dikeluhkan juga oleh masyarakat, namun syarat tersebut masih rasional dan dapat diterima.
"Itu juga fotokopi KTP juga banyak protes. Tapi dikasih penjelasan buat laporan ke atas, akhirnya pada mau," tambahnya.
Tidak semua pedagang memahami aturan teknis pemakaian aplikasi tersebut. Kebijakan ini membuat Indonesia dinilai mengalami kemunduran. Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Jawa Tengah, Suwanto, mengibaratkan masyarakat kini dikekang seperti zaman kolonial Belanda.
"Orang kok banyak diatur, malah mirip zaman penjajahan Belanda. Disuruh antre dan sebagainya. Ini jelas Bangsa Indonesia mengalami kemunduran. Ironisnya lagi yang mengumumkan menteri yang tidak bersangkutan. Maka dari itu, kita sepakat menolak pakai PeduliLindungi," tegas Suwanto kepada IDN Times, Selasa (28/6/2022).
Kalaupun nantinya aplikasi itu tidak jadi dipakai dan diganti e-KTP, ia menilai akan merugikan para pembeli di kalangan menengah bawah. Sebab banyak juga pembeli yang membutuhkan minyak goreng secara eceran.
"Kalau yang beli anak-anak gimana, wong mereka belum punya KTP, belum cukup umur. Pemerintah ini menyusahkan wong cilik. Semestinya aturannya dibuat yang bijak tanpa merugikan masyarakat," imbuhnya.
Fakta ini juga dialami oleh pedagang toko kelontong di Jalan Trengguli, Kota Denpasar. Sinta menceritakan, masyarakat dari ekonomi menengah atas lebih memilih membeli minyak goreng kemasan daripada curah karena pertimbangan kualitas. Ia menjual minyak kemasan 1 kilogram seharga Rp18.000 per kilogram, dan Rp10.000 per kemasan setengah kilogram.
Sedangkan masyarakat dari ekonomi menengah bawah, lebih memilih minyak curah kemasan di bawah 1 kilogram. Selama berjualan, Sinta lebih banyak melayani masyarakat yang membeli minyak curah kemasan ¼ kilogram seharga Rp5.000.
“Masyarakat yang mungkin ekonominya menengah ke bawah gitu, yang punya uang pas-pasan, beli minyak curah gak bisa 1 kilogram. Setiap beli, paling cuma 1/4 kg harganya Rp5.000. Lingkungan dekat rumah itu banyak orang kos, banyak mes bengkel yang kemungkinan dia masaknya sedikit-dikit atau jarang masak,” ungkap Sinta.